Liputan6.com, Jakarta Langkah pemerintah yang akan menambah kepemilikan saham di PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 12 persen dan memperpanjang izin usaha pertambangan (IUP) hingga 2041 dinilai menjadi kebijakan strategis untuk memperkuat kemandirian energi dan sumber daya nasional.
Pengamat Pertambangan dan Energi Prof. Wardana menjelaskan bahwa peningkatan kepemilikan saham di Freeport memberikan keuntungan strategis bagi Indonesia, terutama karena hasil tambang perusahaan tersebut yakni tembaga dan emas menjadi komoditas penting di era transisi energi.
“Satu, tambang Freeport itu hasil utamanya adalah tembaga dan emas. Nah, dua-duanya itu sekarang sangat penting di dunia. Tembaga, misalnya, sangat dibutuhkan untuk kendaraan listrik. Semua mobil listrik itu komponennya menggunakan tembaga, terutama di bagian baterai dan sistem kelistrikan,” ujar Prof. Wardana, dikutip Jumat (16/10/2025).
Menurutnya, dengan porsi saham yang semakin besar, keuntungan yang diterima Indonesia dari aktivitas pertambangan juga meningkat. Lebih dari itu, penguasaan sumber daya alam strategis seperti tembaga dan emas akan memperkuat posisi Indonesia dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
“Jadi dengan porsi saham kita yang lebih besar, otomatis sharing profit-nya juga lebih besar. Kita akan mendapatkan bagian ekspor yang lebih tinggi, baik dari tembaga maupun emas,” kata dia.
Prof. Wardana juga menilai kebijakan pemerintah yang mengevaluasi IUP setiap 10 tahun sebagai langkah tepat untuk menjaga keberlanjutan sektor pertambangan. Menurutnya, periode itu memberi waktu yang cukup bagi perusahaan untuk beradaptasi dan memperbaiki sistem pengelolaan tambang.
“Kalau tidak dievaluasi secara berkala, nanti perusahaan bisa bebas menambang tanpa batas. Evaluasi setiap 10 tahun itu penting, karena siklus tambang sendiri butuh waktu sekitar 4–5 tahun untuk persiapan,” jelasnya.
Penambahan Saham Freeport Jadi Langkah Maju
Sementara itu, Pengamat Ekonomi dan Bisnis Muhammad Sri Wahyudi Suliswanto, menilai penambahan saham Freeport dan perpanjangan IUP merupakan langkah maju yang menunjukkan kemampuan finansial dan politik Indonesia dalam mengelola aset strategisnya sendiri.
"Langkah itu sebenarnya berkaitan dengan kemampuan finansial nasional kita. Karena faktanya, kita belum bisa sepenuhnya mengandalkan pendanaan dalam negeri. Tapi PR-nya adalah bagaimana agar ketergantungan terhadap dana asing itu tidak berlarut-larut,” kata Sri Wahyudi.
Sri Wahyudi pun meluruskan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia soal penambahan porsi saham freepot yang kemudian berkembang di jagat maya bahwa tambang tersebut bisa dikeruk hingga habis. Padahal, pernyataan Bahlil tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang terbit sejak Mei 2024.
“Ya memang betul pernyataan Pak Bahlil, selama kontraknya masih berlaku, secara hukum perusahaan boleh menambang. Tapi yang perlu kita jaga adalah aspek sustainability-nya. Kita ini kan memikirkan generasi mendatang juga, tidak hanya kepentingan saat ini,” ujarnya.
Perlu Pembaruan Kontrak
Dari perspektif tata kelola, Pakar Administrasi Publik Andhyka Muttaqin menilai kebijakan Menteri Bahlil dalam memperkuat kepemilikan nasional di sektor pertambangan sudah sangat baik dan sejalan dengan Asta Cita yang digagas pemerintah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kendati demikian, kebijakan tersebut juga perlu diimbangi dengan pembaruan kontrak dan perjanjian kerja sama agar lebih berpihak kepada kepentingan nasional.
“Kalau kita ingin saham nasional meningkat, ya isi MOU-nya harus dikaji ulang dengan klasifikasi yang lebih menguntungkan Indonesia, bukan asing. Pernyataan Pak Bahlil itu sebenarnya bagus, tapi sering dipelintir. Beliau ini kan progresif, hanya saja narasinya perlu disampaikan dengan gaya komunikasi pejabat publik,” kata Andhyka.
Ia menambahkan, langkah pemerintah yang menata ulang izin tambang, membekukan izin yang tidak memenuhi syarat administratif, lalu membuka kembali setelah perbaikan dilakukan, menunjukkan arah tata kelola yang semakin baik dan akuntabel.
Menurutnya, keberanian pemerintah dalam memperbaiki sistem tambang dan memperbesar saham negara menunjukkan bahwa era “keruk sumber daya tanpa arah” mulai berakhir.
“Sekarang sudah mulai tertata, dan itu langkah yang positif. Pemerintah menunjukkan bahwa eksploitasi harus diimbangi dengan tanggung jawab lingkungan dan keberlanjutan,” ujarnya.
Dengan berbagai langkah tersebut, para akademisi menilai bahwa strategi Presiden Prabowo dengan motor penggerak Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam memperkuat kemandirian energi dan sumber daya alam nasional sudah berada di jalur yang tepat. Tantangannya kini adalah menjaga konsistensi implementasi kebijakan, serta memastikan agar manfaat ekonomi benar-benar mengalir ke masyarakat.