Liputan6.com, Jakarta Tahun 2024 menjadi titik balik krusial dalam perjalanan ekonomi Indonesia. Pelaku pasar menghadapi tantangan dan peluang baru yang memengaruhi arah investasi ke depan.
Dinamika global seperti kebijakan suku bunga The Fed, ketegangan geopolitik, perang tarif, serta pergeseran tren investasi global turut membentuk lanskap ekonomi domestik yang semakin kompleks.
Melihat kondisi ini, PT Sucorinvest Asset Management (Sucor AM) menilai pentingnya memberikan perspektif yang komprehensif dan kredibel kepada para investor, mitra, dan stakeholders. Melalui gelaran The Sucor Stage bertajuk “Market Outlook 2025: Navigating Investments in New Regime,” Sucor AM mengajak seluruh peserta memahami arah kebijakan pemerintahan baru, kondisi makroekonomi, serta menggali peluang investasi yang relevan dalam menghadapi era baru ini.
“Kita semua sedang berada di fase penting di mana transisi nasional dan dinamika global akan membentuk arah baru bagi performa dan pasar keuangan di Indonesia," kata CEO Sucor AM Jemmy Paul Wawointana dikutip Sabtu (19/4/2025).
“Tidak hanya perubahan dalam negeri dan juga kepemimpinan internasional seperti perubahan tarif dari AS, suku bunga global, hingga tensi geopolitik menjadi faktor penting dalam mengambil keputusan investasi ke depan. Di tengah berbagai ketidakpastian ini, kami percaya bahwa investor membutuhkan arahan yang relevan, pandangan yang objektif, dan strategi yang bisa diandalkan,” imbuh Jemmy.
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto memberikan pandangan yang optimistis terhadap instrumen obligasi meskipun suku bunga global masih fluktuatif.
“Kepemilikan asing pada obligasi hanya sekitar 14 persen. Ini yang menjelaskan mengapa guncangan global yang signifikan tidak terlalu berdampak pada pasar obligasi, karena tekanan jual dari asing juga jauh berkurang. Hal ini membuat kami cukup positif terhadap kondisi global saat ini. Sejujurnya, pasar obligasi masih bisa menjadi pilihan investasi yang menarik,” ujarnya.
Investasi
Sementara itu, pakar ekonomi syariah yang juga Wakil Komisaris Utama PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Adiwarman Karim menyampaikan pesan penting kepada investor untuk tidak hanya ikut-ikutan dalam berinvestasi atau berbisnis.
“Karena itu, penting untuk terus bergerak maju. Apa yang dia bilang itu benar—jangan hanya ikut-ikutan. Namun, kita harus mempelajarinya dengan benar. Seperti yang sering saya katakan, perhatikan dulu fundamentalnya. Setelah itu, amati pasar. Kalau kita cuma ikut-ikutan tanpa pemahaman yang matang, kita hanya akan mengikuti tren tanpa arah yang jelas,” jelasnya.
Tarif Baru AS Ubah Peta Investasi Dunia, Bagaimana Strateginya?
Perubahan tarif terbaru yang diberlakukan Amerika Serikat membawa dampak signifikan terhadap lanskap pasar global, menciptakan ketidakpastian sekaligus membuka peluang strategis bagi para investor.
Dalam menanggapi perkembangan ini, Deputy Head of Multi-Asset Solutions, Asia, and Senior Portfolio Manager Manulife Investment Management, Marc Franklin menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap dinamika pasar baru agar dapat membuat keputusan investasi yang cerdas dan adaptif.
Menurut dia, peningkatan volatilitas pasar global merupakan salah satu respons langsung dari kebijakan tarif baru AS. Langkah ini mencerminkan strategi reindustrialisasi AS yang dapat mengubah arah arus perdagangan global.
“China mungkin diharuskan untuk beralih ke model ekonomi yang lebih didorong oleh konsumsi, yang menciptakan pemenang dan pecundang,” ujar Marc Franklin, dikutip Selasa (15/4/2025).
Fokus Sektor Manufaktur
Ia menyarankan investor untuk mulai menyelaraskan portofolio mereka dengan berfokus pada sektor manufaktur dan jasa domestik AS yang berpotensi memperoleh keuntungan dari strategi ini.
Sementara itu, sektor konsumen China bisa menjadi peluang menarik jika negara tersebut merespons dengan stimulus ekonomi domestik.
Merespons Volatilitas dan Risiko Geopolitik
Marc Franklin juga menyoroti potensi tantangan bagi negara-negara ASEAN yang bergantung pada ekspor, seperti Vietnam dan Thailand, karena tekanan terhadap model transshipment mereka. Sebaliknya, India dinilai memiliki ketahanan yang lebih kuat terhadap guncangan eksternal karena basis ekonominya yang berorientasi pada pasar domestik.
“Investor harus mempertimbangkan untuk melakukan diversifikasi ke negara-negara dengan permintaan domestik yang kuat untuk memitigasi risiko geopolitik dan meningkatkan ketahanan portofolio,” tegasnya.
Meskipun valuasi untuk aset berisiko diperkirakan akan menurun, Franklin menekankan bahwa penurunan tidak terjadi secara merata. “Kelas aset tertentu, seperti saham teknologi berkapitalisasi besar di Amerika Serikat dan spread kredit... merupakan kelas aset yang pertama kali mengalami reset valuasi,” imbuh Marc Franklin.
Oleh karena itu, investor disarankan untuk tetap fleksibel dan melakukan pemantauan rutin terhadap spread kredit serta valuasi ekuitas untuk menangkap peluang yang muncul. Perubahan kebijakan yang bias dalam negeri dapat menyebabkan pergeseran arus modal dari pasar AS. Namun, Franklin melihat bahwa pelemahan valuasi dapat menciptakan titik masuk strategis.
“Jika valuasi ekuitas AS kembali ke rata-rata jangka panjang, peluang investasi yang signifikan dapat muncul baik bagi investor domestik maupun asing,” jelas Marc Franklin.