Liputan6.com, Jakarta - Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) diperingati setiap tanggal 20 Mei. Peringatan ini menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk mengenang perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Harkitnas bukan sekadar seremonial, melainkan panggilan untuk membangkitkan semangat persatuan dan nasionalisme.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah memuat tema dan logo Harkitnas 2025 dalam dokumen panduan yang tertuang dalam surat Menteri Komunikasi dan Digital nomor B-395/M.KOMDIGI/HM.04.01/05/2025.
Tema Harkitnas ke-117 pada 2025 yakni 'Bangkit Bersama Wujudkan Indonesia Kuat'. Tema tersebut dipilih supaya Harkitnas 2025 dapat mendorong nilai-nilai semangat dan kekuatan untuk bangkit menuju masa depan Indonesia.
Lantas, mengapa tanggal 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional? Apa makna penting dari peringatan ini bagi bangsa Indonesia? Berikut ulasannya seperti dikutip dari berbagai sumber, Senin (19/5/2025).
Sejarah Hari Kebangkitan Nasional
Hari Kebangkitan Nasional memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini didirikan oleh para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen), sekolah kedokteran di Batavia (Jakarta).
Budi Utomo menjadi organisasi modern pertama di Indonesia yang bersifat nasionalis. Tujuan utamanya adalah memajukan pendidikan dan kebudayaan bangsa. Pendirian Budi Utomo menjadi tonggak awal pergerakan nasional Indonesia dalam melawan penjajahan.
Meskipun Budi Utomo pada awalnya fokus pada bidang pendidikan dan kebudayaan, organisasi ini menginspirasi munculnya organisasi-organisasi pergerakan nasional lainnya. Organisasi-organisasi ini memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia.
Mengutip Antara, peristiwa hari kebangkitan nasional ini berkaitan dengan pelopor pergerakan nasional yakni organisasi Boedi Utomo. Peristiwa itu berawal pada awal abad ke-20, ketika masyarakat dari berbagai daerah mulai sadar kalau mereka bagian dari satu bangsa yang sama yaitu bangsa Indonesia, dan bukan lagi kelompok suku atau wilayah yang terpisah.
Saat itu, sistem pemerintahan kolonial Belanda juga sangat parah dan membuat rakya menderita seiring eksploitasi ekonomi dan politik liberal.
Kondisi ini membuat kaum liberal menyindir kolonial, seperti Eduard Douwes Dekker yang menulis novel berjudul "Max Havelaar". Novel tersebut berisi kecaman kebijakan pemerintah kolonial dan menuntut agar Belanda tidak tutup mata terhadap penderitaan rakyat jajahannya.
lahir kebijakan balas budi pemerintah Belanda terhadap rakyat jajahannya bernama "Politik Etis", yang berisi tiga program utama meliputi irigasi, edukasi, dan transmigrasi.
Kebijakan Politik Etis yang diterapkan Belanda tersebut telah membuka akses pendidikan bagi pribumi, tetapi ketimpangan sosial masih tetap terjadi. Hanya rakyat tertentu yang bisa mendapatkan pendidikan.
Di tengah keterpurukan ini, muncul kaum intelektual pribumi yang menjadi motor penggerak perubahan.
Periode ini diawali dengan berdirinya organisasi Boedi Utomo pada 20 Mei 1908 oleh Dr. Soetomo dan para pelajar STOVIA di Jakarta, yang menjadi tonggak awal gerakan nasional terorganisir di tanah air.
Boedi Utomo lahir dari keresahan akan penderitaan masyarakat akibat penjajahan dan keinginan untuk mencerdaskan bangsa melalui pendidikan.
Dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter dan alumni STOVIA yang berasal dari Surakarta, menjadi tokoh penting dalam kelahiran Boedi Utomo.
Ia mengemukakan gagasan untuk mendirikan sebuah organisasi yang fokus pada peningkatan pendidikan dan kesejahteraan bangsa, melalui dana pendidikan bagi pelajar pribumi yang berprestasi, namun kurang mampu secara ekonomi.
Ide ini kemudian didukung oleh Soetomo dan rekan-rekannya sesama pelajar STOVIA, yang memiliki semangat nasionalisme tinggi.