Daya Beli Lesu Jelang Lebaran, Apa Penyebab dan Bagaimana Jalan Keluarnya?

2 days ago 8

Liputan6.com, Jakarta - Mbok Umi tak lagi menyetok kelapa parut atau santan instan. Pemilik warung di komplek Pajak Cipadu Tangerang ini bercerita, harga kelapa sudah melambung tinggi sejak awal puasa. Biasanya, ia membeli satu buah kelapa sudah diparut di kisaran Rp 10 ribu, tetapi sekarang harganya sudah melambung duakali lipat yaitu Rp 20 ribu.

Tak cuma itu, ia juga tak lagi menyetok santan instan. Untuk santan instan ukuran 65 ml, harga normal di kisaran Rp 6.000. Tapi saat ini di pasar induk harganya sudah dua kali lipat juga yaitu mencapai Rp 12 ribu.

"Saya enggak mau nyetok kelapa parut atau santan instan. Soalnya pasti ga ada yang beli. Modalnya juga gede," kata Mpok Umi kepada Liputan6.com, ditulis Jumat (28/3/2025).

Bukan hanya itu, sejumlah bahan pangan lainnya juga melambung tinggi. Ia tak lagi menyetok daging sapi yang memang sekarang tak ada lagi permintaan dari pelanggannya. Sedangkan untuk cabai rawit merah, ia sudah bungkus plastikan. Setiap plastik ia hargai Rp 5.000 dengan isi sekitar 7-8 butir cabai saja.

Mpok Umi mengeluh, daya beli pelanggannya juga turun. biasanya orang belanja rata-rata Rp 30 ribu sampai 50 ribu setiap kali datang sekarang berkurang menjadi di kisaran Rp 25 ribu saja.

"Paling beli sayur, tempe atau tahu," tambah dia.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat mengakui bahwa daya beli masyarakat turun. Hal ini dipengaruhi paling besar dari maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Mirah Sumirat menyampaikan banyak buruh yang terdampak PHK beralih masuk ke sektor informal. Misalnya dengan berdagang makanan dan minuman berskala kecil.

"Selama ini kemudian mereka usaha, usaha buka warung kelontong gitu ya, dagang kecil-kecilan, ya dagang nasi uduk lah gitu ya, kemudian dagang-dagang makanan gitu lah, makan-makan rumahan gitu," ungkap Mirah saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (28/3/2025).

"Tetapi lagi-lagi karena kebanyakan yang di PHK daripada yang bekerja, sehingga mengakibatkan tidak ada yang beli tuh, rendah pembeli," imbuhnya.

Hal ini turut berdampak pada pekerja yang beralih menjadi berdagang. Meski memulai usahanya untuk mencari pundi-pundi rupiah, namun pembelinya yang juga terdampak PHK membuat daya belinya cukup lemah.

"Banyak pedagang, tapi minim pembeli. Jadi lemah banget itu. Padahal kita pengennya kan, ya pembeli pedagangnya tidak terlalu banyak, tapi pembelinya yang banyak, kan gitu ya harapannya. Tapi istilahnya terbalik. Pembelinya sangat sedikit, tapi pedagangnya banyak. Itu menyebabkan sangat sepi," terangnya.

Mirah juga menyoroti tunjangan hari raya (THR) yang diberikan kepada pekerja. Namun dana itu lebih memilih untuk ditahan ketimbang dibelanjakan.

"Jadi sekarang ini mereka meskipun dapat THR, ya THR itu digunakan bukan untuk, tadi mereka untuk belanja dan sebagainya, tetapi kan di hadapan mereka juga besok ada memasuki tahun ajaran baru. Sehingga mereka butuh untuk mempersiapkan biaya pendidikan anak-anaknya itu di tahun ajaran baru," urai Mirah.

Data Memastikan Pelemahan Daya Beli

Dalam survei penjualan eceran Bank Indonesia Februari 2025, penjualan eceran diprakirakan tetap tumbuh pada Februari 2025. Hal ini tecermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) Februari 2025 yang diprakirakan mencapai 213,2, atau secara bulanan tumbuh sebesar 0,8% (mtm).

Namun secara tahunan, kinerja penjualan eceran pada Februari 2025 diprakirakan mengalami kontraksi sebesar 0,5% (yoy). Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh penurunan Kelompok Makanan, Minuman, dan Tembakau.

Pada Januari 2025, IPR tercatat sebesar 211,5 atau secara bulanan mengalami kontraksi sebesar 4,7% (mtm) setelah tumbuh 5,9% (mtm) pada periode sebelumnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat untuk pertama kalinya dalam 25 tahun pada Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Februari 2025 mengalami deflasi.

Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyampaikan bahwa terjadi penurunan IHK sebesar 0,09% secara tahunan (YoY), yakni dari 105,58 pada Februari 2024 menjadi 105,48 pada Februari 2025. Hal ini menandai deflasi pertama dalam kurun waktu 25 tahun, sejak Maret 2000.

"Menurut catatan BPS, deflasi YoY pernah terjadi pada Maret 2000,” kata Amalia dalam konferensi pers, Senin (3/3/2025).

Amalia menyebutkan bahwa pada tahun 2000 terjadi deflasi sebesar 1,01% YoY, yang disebabkan oleh penurunan IHK pada saat itu. Adapun yang menjadi penyumbang deflasi adalah kelompok bahan makanan.

Yang menarik, penyebab deflasi pada Februari 2025 berbeda dari yang terjadi pada tahun 2000. Pada tahun 2025, sektor Perumahan, Air, Listrik, dan Bahan Bakar Rumah Tangga menjadi faktor utama deflasi, dengan deflasi sebesar 3,59% dan memberikan andil deflasi 0,52%.

Promosi 1

Dari UMKM hingga Ritel Terdampak

Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira juga melihat ada indikasi penurunan daya beli masyarakat yang signifikan.

Dia menyebut, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu sektor yang paling terdampak penurunan daya beli. 

Angga mengutip analisis dari ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) penurunan pendapatan pada pedagang informal dan UMKM dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. 

"Selain itu, sektor ritel juga mengalami perlambatan,” kata Angga kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (28/3/2025). 

"Peritel yang menyasar kelas menengah ke bawah, seperti Alfamart dan Indomaret, hanya mencatat pertumbuhan penjualan masing-masing sebesar 10% dan 4%, sementara Matahari Department Store mengalami penurunan penjualan sebesar 2,6%,” paparnya.

Angga menilai, hal ini ini menunjukkan tidak hanya kelompok ekonomi bawah yang terdampak penurunan daya beli, tetapi juga masyarakat kelas menengah dan atas yang cenderung menahan belanja.  Adapun sektor jasa, termasuk perhotelan dan restoran, juga merasakan dampak negatif. 

Angga menuturkan, penurunan itu menyusul pemangkasan belanja pemerintah untuk perjalanan dinas, yang berisiko memicu badai pemutusan hubungan kerja (PHK).

Senior Analyst Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengungkapkan daya beli masyarakat mengalami pelemahan akibat menurunnya jumlah kelas menengah sejak pandemi COVID-19.

"Di sini faktor yang menyebabkan terjadi kelemahan daya beli masyarakat karena dipengaruhi oleh faktor penurunan jumlah kelas menengah dimana semenjak pandemik COVID-19 itu telah terjadi tren penurunan kelas menengah," ujar Nafan kepada Liputan6.com.

Tren tersebut semakin memperburuk kondisi daya beli masyarakat, terutama menjelang momen Lebaran. Trend penurunan kelas menengah ini yang membuat kondisi daya beli masyarakat kian lesu, terutama menjelang lebaran.

Pelemahan daya beli ini turut berdampak pada kinerja emiten ritel di Indonesia. Beberapa perusahaan ritel mengalami tekanan yang signifikan akibat lesunya konsumsi masyarakat.

Nafan menilai berapa perusahaan retail memiliki kinerja yang kurang optimal yang disebabkan oleh penurunan daya beli masyarakat.

"RALS demikian. Ya, intinya saya rasa investor lebih cenderung bersikap product. Lebih cenderung memilih emiten yang lebih likuid," tambahnya.

Gara-gara PHK

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menilai bawah efisiensi anggaran pemerintah jadi problem utama yang membuat daya beli masyarakat lesu jelang Lebaran.

"Karena tadi, banyak kegiatan-kegiatan pemerintah yang memberikan dampak pada beberapa sektor tidak terjadi. Misalnya hotel, restoran, makan, minum, itu kan juga pengaruh. Itu kan bukan hanya di pusat, tapi juga di daerah," urainya kepada Liputan6.com, Jumat (28/3/2025).

Faktor kedua, maraknya aksi PHK yang dilakukan sejumlah pabrikan dan pelaku industri turut memberi andil besar terhadap pelemahan daya beli masyarakat.

"Saya kira PHK yang sudah terjadi tiga bulan terakhir, bahkan sebelum-sebelumnya juga pengaruh. Ini yang saya kira juga jadi faktor," kata Tauhid.

Senada, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengutarakan, masifnya pemutusan hubungan kerja di dua bulan awal tahun ini jadi salah satu alasan utama belanja masyarakat terhambat.

Adapun data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, terdapat 18.610 orang yang terkena PHK dari Januari hingga Februari 2025. Jumlah tersebut naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun 2024. Bahkan, jika mengacu data Serikat Buruh, sudah ada 60.000 buruh di-PHK dari 50 perusahaan.

Nailul mengatakan, kondisi PHK yang masif membuat kinerja konsumsi melemah. Dengan salah satu indikatornya adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).

Cara Dongkrak Daya Beli

Untuk mengatasi penurunan daya beli, Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira  menyarankan, Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret dan objektif, tanpa mengandalkan retorika atau manipulasi data. 

Beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan antara lain:

penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) yang Tepat Sasaran. Langkah ini salah satunya dengan mempercepat dan memperluas distribusi bansos, baik tunai maupun non-tunai, kepada masyarakat yang membutuhkan untuk meningkatkan daya beli.  

Selanjutnya, Pemerintah juga perlu memastikan stabilisasi harga bahan pokok dengan memastikan kelancaran pasokan dan pengawasan distribusi untuk mencegah kenaikan harga yang tidak wajar menjelang Lebaran.  

Sedangkan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, meminta pemerintah untuk mendorong lebih banyak kucuran anggaran lagi untuk belanja program. Dan tidak hanya terpaku pada beberapa program prioritas Presiden Prabowo Subianto, semisal makan bergizi gratis (MBG).

"Bukan hanya MBG, tapi yang lain. Ini kan belum kelihatan. Pengadaan barang dan jasa lainnya belum kelihatan," sebut dia.

"Saya kira ini harus didorong. Bisa aja ada relaksasi di beberapa sektor hotel dan restoran agat bisa lebih tumbuh. Saya kira itu jadi peluang untuk membentuk perubahan," dia menekankan.

Tak hanya itu, ia pun mendorong masyarakat, khususnya kelompok menengah atas agar mau lebih banyak mengeluarkan koceknya untuk belanja. Khususnya di periode awal April pasca Lebaran 2025.

"Di kuartal kedua saya kira kan ada waktu liburan seminggu dan sebagainya. Masyarakat harus dorong belanja lebih banyak di waktu liburan. Artinya masyarakat tuh kelompok menengah atas," pintanya.

Pemerintah Harus Kendalikan Harga

Di sisi lain, ia pun menyarankan pemerintah agar bisa lebih menjaga stabilisasi harga di pasaran. Sebab, meskipun pemerintah telah memberi sejumlah insentif jelang Lebaran, ia menyebut masih ada beberapa produk barang/jasa yang terlampau tinggi secara harga.

"Harga-harga kan naik. Penting untuk dijaga agar inflasi tetap rendah. Karena kalau kita lihat di dalam seminggu terakhir harganya tinggi sekali, di luar prediksi pemerintah," bebernya.

"Ini yang saya kira akhirnya mengurangi konsumsi. Jadi inflasi dari berragam, termasuk administered price yang diatur pemerintah bisa lebih kurang," dia menegaskan.

Tak lupa, ia berharap investasi dan pembukaan lapangan kerja bisa lebih digenjot lagi. "Terakhir, investasi dan penciptaan lapangan kerja harus didorong lebih cepat. Kalau enggak agak berat kita nanti," pungkas Tauhid.

Langkap Pemerintah

Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mendorong daya beli dan pertumbuhan ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, pemerintah terus memastikan implementasi kebijakan-kebijakan strategis mulai dari penyaluran bantuan sosial (bansos) hingga stimulus berjalan dengan baik.

“Kebijakan-kebijakan ini disusun untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi serta memastikan stabilitas makroekonomi,” kata Airlangga Hartarto belum lama ini.

Rapat koordinasi dihadiri oleh Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza serta perwakilan Kementerian/Lembaga.

Airlangga mengatakan, di kuartal I 2025, pemerintah telah menggelontorkan sejumlah Paket Stimulus Ekonomi. Berikut rinciannya:

Diskon Tarif Listrik

Diskon tarif listrik yang telah berjalan pada Januari dan Februari 2025, diberikan untuk menekan biaya hidup masyarakat serta mendukung konsumsi listrik rumah tangga dan industri kecil. Stimulus tersebut diharapkan turut membantu masyarakat mengelola pengeluaran selama periode Ramadan.

PPN DTP Pembelian Properti dan Otomotif (EV)

Pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian properti dan kendaraan listrik (EV). Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong sektor properti dan otomotif sebagai penggerak utama ekonomi, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, serta mempercepat transisi ke energi bersih.

PPnBM DTP Otomotif (EV dan Hybrid)

Pemberian insentif berupa Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) untuk kendaraan listrik dan hybrid diharapkan dapat mempercepat adopsi kendaraan ramah lingkungan serta memperkuat industri otomotif nasional.

PPh DTP Sektor Padat Karya

Insentif Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah (PPh DTP) diberikan bagi sektor padat karya untuk mempertahankan daya saing industri dalam negeri. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru, meningkatkan ekspor, serta menjaga stabilitas sektor industri di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Stimulus Perpajakan dalam Kegiatan Usaha Bulion

Sinkronisasi aturan perpajakan khususnya pungutan PPh 22 atas transaksi penjualan antara produsen emas dan bullion bank. Stimulus diharapkan dapat meningkatan daya tarik serta mendukung pengembangan ekosistem kegiatan usaha bulion.

Pemerintah Optimistis

Wakil Menteri (Wamen) BUMN Kartiko Wirjoatmodjo mengatakan, saat ini sudah terlihat adanya perbaikan ekonomi. Hal ini yterlihat dari sejumlah indikator ekonomi, seperti indeks keyakinan konsumen dan Purchasing Managers' Index (PMI) atau Indeks Manajer Pembelian menunjukkan adanya perbaikan signifikan yang mulai dirasakan dalam beberapa waktu terakhir.

"Indikator-indikator ekonomi, mengenai indeks keyakinan konsumen dan PMI (Purchasing Managers' Index/Indeks Manajer Pembelian) itu kita lihat sudah mulai ada perbaikan," kata Kartiko, Jumat (28/3/2025).

Ia menyatakan bahwa perbaikan tersebut menunjukkan adanya peningkatan kondisi masyarakat yang semakin membaik, baik dalam sektor riil maupun dalam tren pasar modal yang mengalami perubahan positif.

"Jadi kita melihat bahwa masyarakat membaik. Dan kalau kita lihat di pasar modal, ini kita lihat 1-2 hari terakhir terjadi terjadi perbaikan yang luar biasa," ujarnya.

Menurut Kartiko, dalam dua hari terakhir, pasar modal Indonesia menunjukkan perbaikan luar biasa, mencerminkan optimisme masyarakat terhadap prospek ekonomi Indonesia yang mulai membaik.

"Jadi kita melihat, baik di sisi sektor riil maupun di pasar modal sudah ada tanda-tanda bahwa masyarakat semakin 'confident'," ucapnya.

Kondisi itu memperlihatkan bahwa sektor riil dan pasar modal menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang signifikan, menunjukkan meningkatnya rasa percaya diri masyarakat terhadap perekonomian.

Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) optimistis ekonomi Indonesia tumbuh dengan baik, meski ada sedikit penurunan yang tidak signifikan bagi daya beli masyarakat.

"Kami berharap tentunya ekonomi juga tumbuh dengan baik, daya beli terjaga, sehingga kalaupun ada sedikit penurunan ya tidak terlalu signifikan," kata AHY.

Menurut AHY, dinamika ekonomi global yang saat ini penuh tantangan memerlukan optimisme agar Indonesia tetap bisa menjaga pertumbuhan meskipun kondisi ekonomi global tidak mudah.

"Dan kita tahu namanya ekonomi akan terus dinamis ya, tetapi kita juga tetap harus membangun optimisme, Indonesia di tengah-tengah situasi global yang saat ini juga tidak mudah secara ekonomi," ujar Menko AHY.

Read Entire Article
Bisnis | Football |