Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengatakan sektor maritim Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal pembiayaan, khususnya untuk pembangunan kapal dan infrastruktur pelayaran.
Berbeda dengan negara-negara maju yang telah menjadi hub maritim global, kapal-kapal di Indonesia belum mendapatkan akses pembiayaan jangka panjang yang memadai. Padahal, secara ideal, kapal memiliki masa guna antara 50 hingga 70 tahun.
"Sektor maritim Indonesia masih dihadapkan dengan kesenjangan yang besar. Kurangnya instrumen pembiayaan yang dirancang untuk pembangunan perkapalan dan kebutuhan pelayaran berbeda dengan hub maritim global di mana kapal-kapal mendapatkan manfaat dari pembiayaan jangka panjang dengan 50-70 tahun life spend mereka,” kata AHY dalam Indonesia Maritime Week 2025 di JCC, Senin (26/5/2025).
Sebaliknya, pemilik kapal di Indonesia masih mengandalkan pinjaman komersial generik yang sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan sektor ini. Ketergantungan terhadap skema pembiayaan tersebut menyebabkan hambatan besar dalam mendorong pertumbuhan dan modernisasi armada nasional.
"Pemilik kapal kita kadang bergantung terkait pinjaman komersial generik membuat sebuah hambatan terkait finansial menutup kesenjangan ini bukan tentang daya saing, tapi ini tentang membuka potensi penuh kita sebagai negara maritim,” ujarnya.
Masalah ini bukan semata persoalan daya saing, tetapi tentang bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan sepenuhnya potensinya sebagai negara maritim.
Usia Kapal di Indonesia
Kementerian PPN/Bappenas mencatat saat ini terdapat sekitar 98 ribu kapal di Indonesia, dengan usia rata-rata hanya 20 tahun. Artinya, banyak kapal yang mendekati akhir masa layaknya, yang dapat berdampak pada keselamatan dan efisiensi pelayaran nasional. Hal ini menggarisbawahi pentingnya pembaruan armada secara sistematis.
"Urgensinya nyata berdasarkan data dari kementerian, dari Kementerian Bappenas, termasuk di sana 98 ribu kapal dengan rata-rata usianya 20 tahun saja life spend-nya,” ujar AHY.
Di mana sebagian besar dari kapal tersebut merupakan kapal penangkap ikan, sementara sekitar 30 ribu kapal lainnya adalah kapal niaga yang berperan penting dalam mendukung perdagangan dan konektivitas antarpulau. Ketiadaan instrumen pembiayaan yang tepat untuk memperbarui atau mengganti kapal-kapal ini menjadi hambatan serius dalam peningkatan daya saing logistik nasional.
Transisi Menuju Kapal Rendah Emisi Tak Terelakkan
Sebagai bagian dari komitmen terhadap pengurangan emisi, kata AHY, Indonesia perlu segera memulai fase penggantian kapal-kapal beremisi tinggi dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan. Transformasi ini tidak hanya soal mengganti kapal, melainkan juga menyiapkan seluruh ekosistem pendukungnya, termasuk infrastruktur pelabuhan.
"Untuk memenuhi pengurangan emisi yang ditetapkan dalam rencana jangka panjang kita, kita harus mulai fase untuk melakukan kapal-kapal yang memiliki emisi tinggi dan mengadopsi alternatif karbon rendah. Ini bukan soal kapal, tapi infrastruktur juga,” ujarnya.
Kapal-kapal hijau seperti yang menggunakan bahan bakar LNG atau hidrogen membutuhkan pelabuhan yang dilengkapi dengan fasilitas pengisian daya dan bahan bakar alternatif. Tanpa pelabuhan hijau, upaya modernisasi armada tidak akan optimal.
Kata AHY, negara-negara seperti China dan sesama anggota ASEAN telah lebih dulu memulai pembangunan infrastruktur tersebut. Jika Indonesia tidak segera bergerak, maka risiko tertinggal dalam persaingan maritim kawasan akan semakin besar.
"Negara-negara ASEAN lainnya, juga China, sudah melakukan ini. Kita tidak bisa tertinggal dari mereka,” pungkasnya.