Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami pelemahan. Pengamat Ekonomi dari Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), Ronny P. Sasmita, mengatakan pelemahan ini membawa dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia, terutama dalam sektor impor dan industri manufaktur.
"Penguatan dolar ini otomatis akan membebani biaya impor," kata Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (1/4/2025).
Hal ini disebabkan oleh kebutuhan konversi rupiah ke dolar yang semakin besar, sehingga meskipun volume impor tetap, harga dalam rupiah menjadi lebih mahal.
Dampak langsung dari pelemahan rupiah ini akan terasa pada produk-produk yang bergantung pada bahan baku impor, bahan pembantu impor, atau bahan setengah jadi dari luar negeri.
"Karena orang impor pakai dolar, sehingga mengkonversi rupiah ke dolar, jauh lebih banyak rupiah dibutuhkan untuk mengkonversi ke satu dolar gitu, sehingga meskipun barang yang dibeli dari luar dengan volume yang sama, tapi dalam kontek rupiahnya, harganya menjadi lebih mahal gitu," ujarnya.
Kata Ronny, industri manufaktur Indonesia, yang sebagian besar masih bergantung pada impor, akan menghadapi kenaikan biaya produksi. Akibatnya, dalam beberapa bulan ke depan, harga barang-barang yang menggunakan komponen impor berpotensi meningkat seiring naiknya biaya produksi.
"Mau tidak mau akan menaikkan biaya produksi produk-produk yang mempunyai bahan baku impor, atau bahan pembantu impor, atau bahan setengah jadi dari impor," ujarnya.
"Karena biaya impornya mahal gitu, otomatis hitungan biaya produksinya menjadi tinggi. Sehingga mau tidak mau kalau biaya produksinya meningkat ya, mungkin next tiga bulan ke depan, barang-barang ini ya mau tidak mau dinaikkan harganya oleh produsen, daripada rugi kan," tambahnya.
Peran Bank Indonesia Atasi Pelemahan Rupiah
Adapun, kata Ronny, Bank Indonesia (BI) memiliki peran penting dalam mengatasi pelemahan rupiah, salah satunya melalui intervensi di pasar sekunder.
BI harus masuk ke pasar untuk membeli kembali surat utang yang dilepas oleh investor asing guna mencegah jatuhnya harga surat utang dan menghindari dampak negatif terhadap sektor keuangan. Namun, intervensi ini memiliki risiko besar, yaitu terkurasnya cadangan devisa negara.
"Kalau peran Bank Indonesia kan lebih kepada intervensi di pasar sekunder, jadi kalau ada sentimen negatif di pasar uang, sentimen negatif di pasar surat hutang, lalu investor itu kabur ke luar negeri, mau tidak mau kan, Bank Indonesia itu harus masuk, mengintervensi, mengambil, membeli kembali surat hutang itu gitu lah," ujarnya.
Ketika BI melakukan intervensi dengan membeli surat utang yang dilepas asing, dolar yang dipegang akan keluar dari sistem keuangan dalam negeri. Hal ini menyebabkan jumlah dolar dalam cadangan devisa berkurang, yang pada akhirnya semakin memperlemah nilai tukar rupiah.
"Ketika Bank Indonesia mengintervensi ke pasar sekunder, dia membeli yang dilepas oleh asing itu, otomatis dolarnya akan dibawa keluar oleh asing gitu. Dan jumlah dolar dalam devisa kita akan berkurang, dan itu akan menguatkan dolar dan melemahkan rupiah gitu," ujarnya.
Intervensi
Meski demikian, masih diperlukan data resmi dari BI untuk mengetahui seberapa besar intervensi yang telah dilakukan dan dampaknya terhadap jumlah cadangan devisa negara.
Namun, data devisa yang tersedia umumnya mengalami keterlambatan publikasi hingga satu atau dua bulan, sehingga kondisi riil dari intervensi BI baru dapat dipastikan setelah data terbaru dirilis.
"Ada kemungkinan juga ya, jadi rupiah ini juga melemah, karena devisa kita semakin melemah, akibat Bank Indonesia melakukan intervensi terlalu masif. Cuma kan datanya belum keluar gitu," katanya.
Secara keseluruhan, pelemahan rupiah membawa konsekuensi luas bagi perekonomian, terutama dalam hal biaya impor dan stabilitas sektor keuangan.
Langkah-langkah strategis perlu diambil untuk menjaga kestabilan nilai tukar dan mengurangi dampak negatif terhadap industri dalam negeri serta daya beli masyarakat.
Jurus Pemerintah Jaga Stabilitas Rupiah terhadap Dolar AS
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan Pemerintah berupaya agar nilai tukar rupiah tidak melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dengan jaga harga ekspor dan deregulasi.
"Tentu ekspor harus terus jalan, kemudian deregulasi (sesuai) arahan Bapak Presiden, dan perizinan dipermudah sehingga impor ekspor lebih lancar,” kata Menko Airlangga menjawab pertanyaan wartawan saat dia ditemui selepas rapat bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pembukaan perdagangan pada Rabu pagi di Jakarta naik sebesar 8 poin atau 0,05 persen menjadi Rp16.604 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.612,00 per dolar AS.
Rupiah juga ditutup menguat sebesar 24 poin atau 0,14 persen menjadi 16.588,00 per dolar AS dari sebelumnya 16.612,00 per dolar AS. Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Rabu pekan ini juga menguat ke level Rp16.588,00 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.622,00 per dolar AS.
Terkait nilai rupiah yang dinilai fluktuatif dalam beberapa hari terakhir, Airlangga menegaskan fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat meskipun pergerakan rupiah fluktuatif. Fundamental kuat itu dilihat dari cadangan devisa yang kuat, neraca perdagangan yang juga bagus, dan devisa hasil ekspor (DHE) yang saat ini seluruhnya disimpan di dalam negeri.
"Ya rupiah seperti biasa berfluktuasi, tetapi tentu kami lihat secara fundamental kuat, kemudian juga kami lihat nanti secara jangka menengah dan panjang," ujar Menko Airlangga.