Liputan6.com, Jakarta Untuk pertama kalinya sejak era Brendan Rodgers pada 2014, Liverpool kembali terperosok dalam rentetan empat kekalahan beruntun di semua kompetisi. Perbandingannya terasa ironis, dulu mereka gagal menggantikan Luis Suarez, kini mereka gagal membentuk harmoni di tengah limpahan pemain mahal.
Hampir sebelas tahun berselang, situasi di Merseyside memang tak seburuk masa kelam itu. Namun, tanda-tanda kemunduran sudah terlihat jelas. Di bawah Arne Slot, Liverpool terlihat seperti tim dengan talenta besar tapi tanpa arah yang pasti.
Kekalahan 1-2 dari Manchester United di Anfield yang juga menjadi kemenangan tandang pertama United sejak 2016, hanya menegaskan betapa rapuhnya tim ini. Slot menyalahkan kegagalan penyelesaian akhir, namun persoalan Liverpool jauh lebih dalam dari sekadar peluang yang terbuang.
“Dari delapan atau sembilan peluang terbuka, kami hanya bisa mencetak satu gol,” ujar Slot. “Kami menciptakan banyak kesempatan, tapi tidak cukup tajam untuk menang.” Namun dalam kenyataannya, Liverpool bukan hanya tidak efisien, mereka juga kehilangan kontrol.
Terlalu Mudah Ditembus, Terlalu Sulit Dipahami
Dengan 64 persen penguasaan bola dan 19 tembakan, Liverpool seolah tampil dominan. Tapi di balik angka itu, struktur permainan mereka berantakan. Slot membangun tim yang terlalu terbuka, terlalu mudah ditembus, dan kehilangan keseimbangan antara serangan dan pertahanan.
Opta mencatat bahwa United menciptakan jumlah peluang besar yang sama dengan Liverpool, meski bermain defensif. Artinya, ini bukan kekalahan karena ketidakberuntungan. Ini masalah sistemik.
Dalam 12 pertandingan di semua kompetisi, Liverpool sudah kebobolan dua gol atau lebih dalam tujuh laga. Musim lalu, mereka hanya kemasukan tiga gol dari delapan laga pertama Premier League; musim ini, jumlah itu melonjak menjadi 11.
Bahkan gol cepat Bryan Mbeumo pada menit kedua di Anfield menggambarkan semua masalah itu: komunikasi buruk, jarak antarbek yang terbuka, dan kiper Giorgi Mamardashvili yang salah antisipasi.
Liverpool tampak kehilangan koordinasi di setiap lini, dan rasa percaya diri mereka ikut menurun setiap kali bola berada di area berbahaya.
Salah, Isak, dan Krisis Efektivitas
Masalah efisiensi yang disoroti Slot memang nyata. Cody Gakpo tiga kali mengenai tiang sebelum akhirnya mencetak gol penyama kedudukan, hanya untuk kemudian menyia-nyiakan peluang emas lima meter dari gawang.
Alexander Isak gagal menaklukkan Senne Lammens, sementara Mohamed Salah memperpanjang rekor buruknya menjadi tujuh laga Premier League tanpa gol non-penalti, rekor terpanjang dalam kariernya di Liverpool.
Namun jika finishing adalah satu-satunya problem, Liverpool tak akan seburuk ini. Serangan mereka memang mengalir, tetapi kehilangan arah. Struktur pressing yang tak sinkron membuat mereka terlalu mudah diserang balik, dan begitu kehilangan bola, jarak antarlini terlalu lebar.
Virgil van Dijk mengakui bahwa timnya bermain dengan panik. “Kami terlalu terburu-buru,” katanya. “Kami membuat keputusan yang salah, dan di saat itulah kami menjadi terbuka ketika kehilangan bola.”
Pernyataannya menegaskan bahwa masalah Liverpool bukan hanya teknis, tapi juga psikologis: mereka kehilangan rasa tenang yang dulu menjadi ciri khas era Jurgen Klopp.
Keputusan Slot yang Membingungkan
Kegagalan taktik Slot juga tampak dari keputusannya dalam memilih pemain. Milos Kerkez tampil buruk di posisi bek kiri namun tetap dibiarkan bermain penuh, padahal Andy Robertson ada di bangku cadangan.
Sementara itu, Hugo Ekitike yang lebih dinamis justru duduk di bench demi memberi tempat bagi Isak yang belum menunjukkan performa memuaskan.
Salah pun tak lepas dari sorotan. Ditarik keluar di menit akhir, ia hanya bisa menyaksikan Jeremie Frimpong dan Federico Chiesa, dua pemain pengganti, menciptakan peluang yang tak mampu ia hasilkan selama berada di lapangan.
Yang paling mengkhawatirkan, Slot tampak kehilangan arah jelas ketika timnya tertinggal. Seperti melawan Crystal Palace dan Chelsea sebelumnya, Liverpool kembali bermain nekat di babak akhir, memasukkan Florian Wirtz, Ekitike, dan Curtis Jones sekaligus untuk mengejar gol. Formasi berubah menjadi nyaris empat penyerang, tapi tanpa struktur
Set-Piece Liverpool: Sumber Masalah yang Terabaikan
Selain pertahanan terbuka, bola mati juga menjadi titik lemah Liverpool musim ini. Klub bahkan sudah menunjuk Luiz Fernando Iubel sebagai pelatih pengembangan individu, membiarkan Aaron Briggs fokus sebagai spesialis set-piece. Namun hasilnya belum terlihat.
Dari 57 peluang bola mati sepanjang musim ini, hanya satu yang berbuah gol, tendangan bebas Dominik Szoboszlai ke gawang Arsenal. Itu membuat Liverpool berada di posisi ke-17 dalam efektivitas set-piece Premier League. Sebaliknya, mereka sudah kebobolan lima gol dari situasi bola mati, lebih buruk dari mayoritas tim papan atas.
Ketika Bruno Fernandes mengirim umpan silang yang berujung pada gol Harry Maguire, tiga pemain Liverpool terlihat pasif: Konate kehilangan pengawalan, De Ligt dan Dorgu berdiri bebas, sementara Gakpo dan Jones gagal membaca arah bola. Semua itu memperlihatkan lemahnya disiplin dan kesadaran posisi di momen penting.
Rabu malam, Liverpool akan bertandang ke Eintracht Frankfurt di Liga Champions, laga yang bisa menyelamatkan momentum atau memperburuk krisis. Empat kekalahan beruntun sudah cukup menggerus keyakinan publik, dan satu hasil buruk lagi bisa mengguncang fondasi yang baru ia bangun.