Pengamat: Ojek Online Butuh Kepastian Hukum, Bukan Sekadar Imbauan

13 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Analis Kebijakan Transportasi Azas Tigor Nainggolan, mengusulkan penerbitan Surat Edaran (SE) tentang Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 bagi Pengemudi dan Kurir pada layanan angkutan berbasis aplikasi, sebaiknya dicabut agar tidak menimbulkan kekacauan hukum dan merusak wibawa pemerintah.

"Usul saya sebaiknya Surat Edaran Menaker NOMOR M/3/HK.04.O0/III/2025 dicabut saja agar tidak menimbulkan kekacauan hukum dan merusak wibawa pemerintah," kata Azaz, di Jakarta, ditulis Jumat (14/3/2025).

Masalah utama yang terjadi bukan sekadar soal Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pengemudi ojek online, tetapi lebih dalam pada ketidakpastian hukum dalam bisnis transportasi online di Indonesia.

"Carut marut ini bukan masalah THR tapi tidak adanya kepastian hukum dalam bisnis ojek online," ujarnya.

Menurutnya, sebagai regulator, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan regulasi hukum yang jelas dan tegas guna melindungi rakyatnya dalam hal ini, pengemudi ojek online dan kurir online.

"Pemerintah sebagai regulator harusnya yang bertanggung jawab sebagai membuat regulasi hukum untuk melindungi rakyat, dalam hal ini para pengemudi ojek online dan kurir online," ujar Azaz.

Penerbitan SE belum selesaikan masalah THR Ojol dan Kurir

Adapun kata Azaz, penerbitan SE ini belum menyelesaikan masalah utama, yaitu status hukum ojek online yang hingga kini masih abu-abu.SE ini diterbitkan sebagai jawaban atas tuntutan pengemudi ojek online yang meminta kejelasan terkait pemberian THR dari perusahaan aplikasi (aplikator).

"Pembuatan SE ini belum untuk menyelesaikan masalah," imbuhnya.

Namun, SE ini hanya menghimbau agar aplikator memberikan Bonus Hari Raya (BHR) sebagai bentuk kepedulian berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Promosi 1

Hanya Sebatas Mitra

Fakta pemerintah tidak bisa memaksa pemberian THR, tetapi hanya mengimbau pemberian BHR, menunjukkan mereka menyadari tidak adanya dasar hukum untuk mewajibkan aplikator memberikan THR.

Hal ini karena hubungan antara aplikator dan pengemudi ojek online hanya sebatas mitra, bukan hubungan kerja formal seperti antara perusahaan dan karyawan.

"Pemerintah sadar betul tidak bisa memaksa memberikan THR tetapi BHR karena hubungan antara aplikator dan pengemudi Ojol adalah sebagai mitra. Syukurlah pemerintah sadar betul posisi hukum dalam masalah pemberian THR ada masalah hukumnya," jelasnya.

Solusi Jangka Pendek vs Solusi Jangka Panjang

Azaz menilai, pemberian BHR mungkin bisa dianggap sebagai solusi kemanusiaan jangka pendek, tetapi ini tidak menyelesaikan akar masalahnya. Pemerintah harus mengambil langkah konkret dengan mengakui bisnis layanan transportasi ojek online dalam sistem hukum Indonesia.

Saat ini, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) tidak mengakui ojek online sebagai bagian dari transportasi umum.

"Sayangnya BHR ini solusi kemanusiaan jangka pendek, sebagai wujud kepedulian sesuai nilai-nilai Pancasila. Tahap berikutnya pemerintah harus melakukan langkah menyelesaikan masalah tanpa masalah, yakni langkah pengakuan hukum terhadap bisnis layanan transportasi ojek online di Indonesia," jelas Azaz.

Di sisi lain, aplikator juga tidak mengakui diri mereka sebagai perusahaan angkutan umum, melainkan hanya sebagai penyedia layanan aplikasi. Bisnis aplikator semacam ini pun belum memiliki regulasi hukum yang jelas di Indonesia.

Ketidakjelasan status hukum ini membuat pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap aplikator dalam berbagai kebijakan, termasuk pemberian THR atau kesejahteraan pengemudi.

Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan pemerintah bukan sekadar menerbitkan SE yang sifatnya himbauan, melainkan membuat regulasi hukum yang mengatur bisnis transportasi online secara menyeluruh. "Jadinya ya, seperti seperti sekarang ini, SE Menaker hanya menghimbau memberikan BHR karena para pengemudi ojek online  statusnya hanya MITRAnya aplikator," pungkasnya.

Read Entire Article
Bisnis | Football |