Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah berencana menghapus kuota impor bagi beberapa komoditas. Rencana ini dikhawatirkan mengganggu pasar produk dalam negeri. Lantas, bagaimana solusinya?
Ekonom dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menjelaskan ada cara produk lokal bisa bersaing dengan barang impor. Caranya dengan memberikan dukungan maksimal di produk asli Tanah Air.
Sebetulnya, kata dia, dalam melindungi produk lokal pemerintah bisa menerapkan tarif tinggi buat barang impor. Namun, hal itu berpotensi mengerek harga di tingkat konsumen. Cara paling mungkin adalah memberikan insentif bagi produk lokal.
"Dalam bentuk memberi kemudahan, mengeringankan pajak, membantu teknologi, membantu riset agar produknya kompetitif. Nah ini cenderung lebih safe sebenarnya karena tidak mengganggu harga, kalau tariff itu mengganggu harga, kuota juga mengganggu harga," tutur Ronny saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (22/4/2025).
Dia menilai, penerapan kuota impor pun tidak sepenuhnya melindungi produk lokal. Termasuk tidak terlalu berpengaruh pada gejolak harga di pasaran dalam negeri.
"Apakah memang sistem kuota selama ini melindungi produk dalam negeri? Belum tentu, itu yang pertama. Yang kedua, apakah penerapan sistem kuota selama ini menyelamatkan produk dalam negeri dari gejala karga? Enggak juga.Menyelamatkan konsumen dari gejolak harga? Enggak juga. Apakah sistem kuota selama ini memberdayakan produk dalam negeri? Enggak juga. Enggak terproteksi juga," terangnya.
Bantu Produsen Lokal
Dia meminta pemerintah membantu produsen lokal dalam aspek mengembangan produknya agar bisa kompetitif di pasar Tanah Air.
"(Memberikan) bantuan misalkan teknologi agar mereka lebih kompetitif, bantuan untuk riset dan development agar mereka bisa lebih berkembang dengan dukungan riset dan development, dan bantuan dalam bentuk insentif, atau whatsever bantuknya yang didukung oleh pemerintah untuk membenahi kelembagaannya, membenahi produknya, membenahi pemasarannya," beber Ronny.
Benahi Tata Kelola
Rencana penghapusan kuota impor juga menyasar komoditas pangan. Soal aspek ini, Sekretaris Jenderal Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Reynaldi Sarijowan mengusulkan perbaikan tata kelola dari hulu ke hilir.
"Solusinya adalah memperbaiki tata kelola. Ada pemetaan produksi di dalam negeri kita," kata Reynaldi, kepada Liputan6.com.
Dia menjelaskan, pada aspek pangan ini ada beberapa wilayah yang bisa dioptimalkan. Brebes misalnya sebagai sentra produksi bawang merah, Nusa Tenggara Barat sebagai sentra produksi daging sapi, sampai Sulawesi sebagai sentra produksi cabai rawit.
Wilayah-wilayah itu yang menurut dia, perlu dimaksimalkan produksinya. Sehingga diharapkan bisa membantu kebutuhan di wilayah lain di Indonesia.
"Ini yang digenjot sentra-sentra pertanian ini yang digenjot, sentra perikanan, sentra peternakan yang digenjot supaya mencukupi konsumsi dalam negeri kita," ucap dia.
Di sisi lain, dia meminta pemerintah mengatur kembali pengelolaan importasi, khususnya komoditas pangan. "Kemudian soal pengaturan importasinya juga harus ada perubahan tidak melulu importirnya itu-itu saja," tandasnya.
Alasan Pemerintah Mau Hapus Kuota Impor
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan rencana yang cukup mengejutkan, menghapus kuota impor untuk sejumlah komoditas. Lantas, apa yang menjadi tujuannya?
Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono menyampaikan maksud dibalik rencana penghapusan kuota impor tersebut. Misalnya, melawan tindakan yang tidak bertanggungjawab.
Dia enggan ada pihak tertentu yang mempermainkan kuota impor tersebut. Ketika ada industri yang butuh bahan baku impor, maka bisa langsung mengajukannya ke pemerintah selaku regulator.
"Jadi contoh, misalnya butuh impor daging beku, yang butuh industri, ya sudah industri saja yang impor. Enggak usah ada pihak tertentu dikasih kuota, kemudian dia yang ngatur jumlahnya, dia yang dikasih hak khusus, itu yang menurut pak Presiden tidak adil," kata Sudaryono, beberapa waktu lalu, ditulis Selasa (22/4/2025).
Dia khawatir ada pihak yang mempermainkan bahkan menjual kuota impor yang dimiliki. Meski begitu, dia tidak berbicara banyak apakah hal tersebut bersasarkan dengan temuannya selama ini.
"Kalau nanti orang dikasih kuota, di kasih kuota dia jualan lagi, dijual lagi, baru end-usernya tuh mungkin turunan ketiga keempat kan artinya ada penambahan harga. Nah disitu dianggap tidak efisien, toh impor," tuturnya.