Liputan6.com, Jakarta - Timnas Indonesia dan Jepang bentrok pada lanjutan persaingan Grup C putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jumat (15/11/2024).
Laga ini ibarat David melawan Goliath. Indonesia hanya menempati posisi 130 di peringkat FIFA. Sementara Jepang merupakan wakil terbaik Asia usai menduduki urutan 15.
Cerminan lain terlihat pada klasemen sementara persaingan menuju turnamen di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko dua tahun mendatang. Indonesia baru mengoleksi tiga poin dan belum pernah menang sehingga terdampar di peringkat lima. Sedangkan Jepang kokoh di puncak lewat raihan 10 angka.
Ketimpangan ini merupakan akumulasi dari pergerakan kedua negara dalam membangun sepak bola. Namun, ada masanya di mana dunia terbalik dengan timnas Indonesia berada di atas Jepang.
Sekitar tujuh dekade silam, Garuda menunjukkan prestasi lebih mentereng ketimbang Samurai Biru. Asian Games dipakai sebagai tolak ukur, mengingat turnamen regional sepak bola (Piala Asia) belum memiliki gengsi sebesar sekarang.
Saat itu Asian Games tidak menggunakan pembatasan umur seperti saat ini. Artinya, para peserta menurunkan kekuatan terbaik demi meraih prestasi maksimal.
Timnas Jepang unjuk gigi melalui medali perunggu saat sepak bola dipertandingkan pertama kali pada Asian Games 1951. Namun, rapor Negeri Matahari Terbit setelahnya dibenamkan Indonesia.
Memiliki pemain seperti Ramang dan Maulwi Saelan, Indonesia menembus semifinal (1954) dan membawa pulang perunggu (1958). Sedangkan di dua momen itu langkah Jepang terhenti pada fase grup.
Indonesia juga menembus perempat final sepak bola Olimpiade 1956, dengan Jepang kandas di putaran pertama.
Revolusi Sepak Bola Jepang, Indonesia Dijatuhi Sanksi FIFA
Waktu berjalan, Indonesia dan Jepang masing-masing terus berjuang demi menembus pentas dunia. Sampai titik krusial hadir di 1990-an, dengan perbedaan kedua negara mulai melebar meski tidak sebesar sekarang. Pada akhir 1992, tahun FIFA memperkenalkan peringkat dunia, Indonesia berada di posisi 108, hanya 42 tingkat di bawah Jepang.
Jepang melesat usai membuat terobosan melalui perubahan format kompetisi lokal menjadi profesional bernama J-League. Persaingan mulai bergulir pada 1993 dan pintu pemain asing lebih dibuka lebar.
Careca (Brasil), Pierre Littbarski (Jerman), dan Gerald Vanenburg (Belanda) merupakan gelombang pertama yang hadir menyusul Zico (Brasil) dan Gary Lineker (Inggris) yang tiba terlebih dahulu. Turut datang kemudian hadir Michael Laudrup (Denmark) dan Hristo Stoichkov (Bulgaria).
Kehadiran mereka diharapkan dapat menularkan ilmu sekaligus mendongrak talenta lokal. Hasilnya terlihat tidak lama kemudian. Walau gagal pada percobaan pertama mencapai Piala Dunia (1994) setelah J-League terbentuk, karena hanya bermain imbang pada partai terakhir kualifikasi melawan Irak, Jepang lolos untuk pertama kali di edisi berikutnya tahun 1998. Sejak itu mereka tidak pernah absen dari Piala Dunia.
Resep mendatangkan pemain asing sebenarnya juga diterapkan Indonesia. Mario Kempes (Argentina) dan Emmanuel Maboang Kessack (Kamerun) datang memeriahkan gegap gempita sepak bola nusantara pada dekade terakhir abad ke-20.
Sayang akumulasi berbagai faktor membuat sepak bola Indonesia berjalan di tempat, kalau tidak mau disebut mundur. Indonesia sempat memiliki dualisme kepemimpinan federasi, yang kemudian memaksa pemerintah turun tangan sehingga terkena sanksi FIFA.
Larangan tersebut membuat sepak bola Indonesia mati suri. Butuh proses panjang lagi untuk memulihkan diri, yang coba dijalankan dua pemimpin terakhir federasi.
"Peringkat sepak bola Indonesia bakal turun terus, karena kita tidak bisa mengikuti turnamen dunia yang masuk agenda FIFA dan lainnya," kata pengamat sepak bola Andi Bachtiar Yusuf menjelaskan dampak hukuman FIFA.
Solusi Jangka Menengah dan Panjang Timnas Indonesia
Saat ini, Jepang sudah menjadi kekuatan utama Asia. Pembinaan yang dilakukan sejak tiga dekade silam membuat talenta-talenta mereka bekibaran di berbagai klub Eropa yang menjadi kiblat sepak bola dunia.
Di sisi lain, Indonesia mengubah taktik demi menembus pentas global yakni naturalisasi pemain. Usai diragukan efektivitasnya, langkah terbaru adalah mengidentifikasi pemain-pemain berdarah Merah Putih yang tersebar di berbagai penjuru muka bumi pada berbagai level usia.
Ditemukanlah nama-nama seperti Jay Idzes, Maarten Paes, Ragnar Oratmangoen, Thom Haye, dan teranyar Kevin Diks. Kebijakan tersebut diterapkan di berbagai umur, sehingga dampaknya akan terasa di masa depan dan bukan cuma sebatas solusi jangka pendek.
Bukan cuma itu, kehadiran para diaspora ini juga bisa memberi pengaruh selain hasil di lapangan. Sepak terjang Idzes dan kawan-kawan diharapkan menginspirasi generasi-generasi baru lokal untuk menjajal sepak bola sebagai pilihan karier. Bertambahnya sumber daya tersebut jelas meningkatkan peluang Indonesia mendapatkan pemain berkualitas, sembari tentunya membenahi pembinaan usia dini.
Hebatnya, hasil kebijakan ini sudah terlihat dalam waktu singkat. Empat level timnas (senior, U-23, U-20, U-17) lolos ke Piala Asia untuk kali pertama sepanjang sejarah.
“Kita ingin memfokuskan semua talenta terbaik bangsa Indonesia yang ada di luar negeri untuk memperkuat tim nasional. Pilihan adalah yang mempunyai darah Indonesia,” kata Ketua Umum PSSI Erick Thohir.
“Ini ya bagian komitmen bahwa yang namanya pembangunan tim nasional itu bukan dilihat dari jangka pendek, tapi menengah dan panjang, dan kita sudah siapkan talentanya itu,” tuturnya.
Timnas Indonesia tampil di SUGBK malam ini mengusung mimpi mencapai level sama seperti Jepang. Terlepas apapun hasil pertandingan, Indonesia sepertinya berada di jalan yang benar untuk mewujudkan ambisi.