Curhatan Pekerja Ibu Kota Soal Gaji Rp 10 Juta di Jakarta

8 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyani meyakini bisa menggaji pekerja di Jakarta sebesar Rp 10 juta per keluarga. Lantas, bagaimana respons pekerja Ibu Kota soal besaran gaji yang diterimanya?

Nyatanya, masih banyak pekerja di Kota Jakarta yang mendapatkan gaji di bawah Rp 10 juta per bulan. Upah Minimu Regional (UMR) DKI Jakarta pada 2025 ini ditetapkan sebesar Rp 5,39 juta, jauh lebih rendah dari angka dua digit tersebut.

Seorang praktisi kehumasan di Ibu Kota, Ismu mengaku mendapat upah Rp 8-10 juta per bulan. Menurutnya, besaran itu masih cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta.

"Dibilang cukup sih, cukup aja. Cuma ya sebenernya tergantung gaya hidup dan credit cash flow. Karena di Jakarta masih banyak yanh affordable kok," kata Ismu saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (14/5/2025).

Dia mencoba menghitung, setidaknya memang membutuhkan gaji minimal Rp 10 juta per bulan untuk bisa lebih tenang. Pasalnya, bukan cuma bicara pemenuhan biaya hidup, tapi juga untuk menabung demi masa depan.

"Kalau minimal memang Rp 10 juta yah. Itu udah minimal. Karena kan ga cuma dihabisin untuk hal konsumtif aja, tapi untuk prepare masa depan dan hal-hal tidak terduga pun harus disiapkan juga," ucapnya.

Berharap Naik Gaji

Sementara itu, karyawan sebuah agency, Daniel, mengaku punya pendapatan Rp 5-7 juta per bulan. Nilai itu hanya cukup untuk memenuhi biaya makan, sewa tempat tinggal, dan sesekali memberi ke orang tua.

Pria yang memiliki 1 orang anak ini berharap adanya kenaikan gaji. Dalam hitungannya, setidaknya butuh gaki Rp 10-15 juta per bulan agar bisa menyisihkan untuk keperluan lainnya.

"Harapannya sih bisa di angka Rp 10-15 juta (per bulan). Emang lerlu kenaikan gaji, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup lainya," katanya.

Gaji Pas-Pasan

Tak berbeda jauh dengan Ismu dan Daniel, seorang pekerja di salah satu media massa swasta, Duta mengungkapkan pandangannya. Duta mengatakan punya pendapatan diatas UMR DKI Jakarta, tapi masih di bawah angka Rp 10 juta.

Gaji yang didapatnya itu terbilang cukup untuk membiayai hidup sehari-hari. Meski, perlu ada pengaturan lebih ketat karena dia memiliki tanggungan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di kawasan Depok, Jawa Barat.

"Bisa dibilang pas-pasan kalau dibandingkan dengan pengeluaran yang mencakup kebutuhan untuk kredit pemilikan rumah di bilangan Depok, Jawa Barat, biaya operasional pekerjaan seperti transportasi (BBM, transportasi umum, hingga jasa ojek daring), kebutuhan rumah tangga mulai dari konsumsi sehari-hari, kebutuhan anak-anak, listrik, koneksi internet, biaya pendidikan anak, hingga jasa ART," terangnya.

Dia juga memandang kalau angka Rp 10 juta per bulan bisa jadi satu acuan minimal. Harapannya, dengan pendapatan lebih itu, sebagian dananya bisa dialihkan ke investasi masa depan. "Mungkin di atas Rp 10 juta bisa jadi ambang batas minimal untuk memenuhi seluruh kebutuhan serta investasi jangka panjang untuk pendidikan anak," tuturnya.

Pemerintah Harus Apa?

Ketiga orang pekerja Ibu Kota ini pun punya pandangan beragam terkait hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam kaitan pendapatan per orang di Jakarta.

Duta dan Daniel punya harapan yang sama. Keduanya berharap pemerintah bisa memperkuat regulasi untuk pelaku usaha memberikan gaji yang proporsional kepada pekerjanya.

"Pemerintah bisa juga memberikan insentif atau skema lain dalam menjaga keberlangsungan industri media sehingga pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan para karyawan," ungkap Duta.

"Melakukan penyesuaian peraturan agar perusahaan taat terhadap kebijakan yang ada dan perlu dilakukan penyesuaian agar upah pekerja cukup untuk memenuhi kebutuhan dan biaya rekreasi," sahut Daniel.

Kebijakan Pro Transportasi Publik

Sementara itu, Ismu berharap pemerintah bisa memberikan kebijakan yang sifatnya kepada publik, bukan privat. Misalnya, membuat kebijakan yang lebih memperhatikan kelangsungan akses transportasi publik.

"Karena selain bisa membantu menekan cost, juga meningkatkan perputaran ekonomi. Karena kalo selalu glorifying hal-hal private, tentu cost yang keluar makin banyak untuk 1 kebutuhan padahal seharusnya bisa untuk beberapa kebutuhan," ujarnya.

"Contoh kayak ojek online. Itu kan tranportasi private sebenarnya, bukan public. Yang harusnya bisa cuma Rp 3.500 ke satu titik, ini bisa jadi Rp 35.000 untuk sekali jalan. Tentu peluang untuk mengeluarkan budget di sektor lain pun harus berfikir beberapa kali dengan pendapatan yang tetap," imbuh dia.

Read Entire Article
Bisnis | Football |