Liputan6.com, Jakarta Industri Kecil Menengah (IKM) rokok dinilai tetap wajib membayar cukai, namun lebih pada cukai rakyat. Dengan demikian, IKM tersebut membayar cukai pada negara dengan biaya yang murah.
Anggota Komisi XI DPR RI, Eric Hermawan mengatakan, jalan tengah untuk meminimalisir konflik antar kepentingan yang diduga melibatkan institusi pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) adalah dengan membayar cukai. Pasalnya, tanpa membayar cukai yang dirugikan negara.
"Dugaan adanya pelanggaran itu, maka tidak hanya polisi, dikhawatirkan ada unsur APH lain akan terlibat, dan disinyalir oknum bea cukai juga turut terlibat. Karena itu, yang paling benar ada namanya cukai rakyat, supaya negara mendapat untung gitu, tinggal pembinaannya saja, berapa harga cukai yang bisa diserap oleh para pelaku usaha rokok di Madura," terang Eric dikutip Selasa (13/05/2025).
Eric yang terpilih dari dapil Jawa Timur XI (Madura) juga menyoroti kebijakan eksesif atas tarif cukai rokok dalam beberapa tahun belakangan ini yang memberikan dampak berganda (multiplier effect) baik di sektor hulu dan hilir mata rantai tembakau. Ia menduga, pemerintah selama ini hanya memikirkan target penerimaan tanpa mempertimbangkan dampak kenaikan cukai rokok.
"Pemerintah ambil uangnya dari cukai rokok, tanpa memedulikan nasib industri rokok. Nah, ini harus dibenahi, makanya cukai itu harus dibuat stabil sehingga pertumbuhan rokok pun akan tumbuh. Bahwa kebijakan cukai hasil tembakau ini perlu dikaji ulang," jelas bendum Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama.
Kebijakan Cukai Rokok
Kebijakan cukai rokok yang eksesif juga mendapat sorotan ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji.
"3 juta petani tembakau sangat menaruh harapan besar kepada Bapak Presiden Prabowo yang bervisi menjaga kedaulatan nasional dengan manifestasi melindungi hak-hak kedaulatan ekonomi, sosial, budaya petani tembakau dari agenda asing (proxy war)," kata Agus Parmuji.
Menurut Agus, dalam situasi ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja, DPN APTI memohon Presiden Prabowo mengkaji ulang kebijakan cukai rokok yang eksesif. Sebab, instrumen cukai sangat berpengaruh terhadap maju mundurnya industri kretek nasional yang berefek domino terhadap petani tembakau dan cengkeh.
"Kebijakan cukai yang eksesif, negara bisa kehilangan penerimaan cukai sekitar 10% dari total APBN, yang sebenarnya bisa menjadi sumber pendanaan program pemerintah," tegasnya.
Awas, Tarif Cukai Naik Tinggi Picu Peredaran Rokok Ilegal Makin Marak
Sebelumnya, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mendorong pemerintah melakukan penyesuaian terhadap aktivitas bisnis tembakau dan mengkaji ulang penerapan tarif cukai pada industri produk tembakau secara moderat sehingga penerimaan negara dapat semakin optimal.
Misbakhun menyampaikan hal itu pada rapat kerja Komisi XI DPR bersama DJBC di gedung Parlemen, Senayan, Rabu (7/05/2025) kemarin.
Menurut Misbakhun, kebijakan tarif cukai hasil tembakau jangan sampai eksesif, sehingga industri hasil tembakau tidak mengalami kontraksi. Ia mencontohkan, saat Komisi XI DPR RI kunjungan ke pabrik rokok Gudang Garam beberapa waktu lalu.
"Selama ini kan kita berpihak ke Sigaret Kretek Tangan (SKT) Pak, tetapi sekelas Gudang Garam, untuk golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM I) mengalami kontraksi yang luar biasa. Nah, konstraksi luar biasa produksinya menurun tetapi di pasar tembakau ini habis Pak," ungkap Misbakhun.
Misbakhun belum tahu persis hal itu. Mungkin apakah terjadi peningkatan impor terhadap tembakau, sehingga kalau tembakau dalam negeri habis terjadi peningkatan impor juga terhadap tembakau.
"Saya yakin yang berkembang kan ya rokok di sini rokok Madura ini Pak, rokok Madura ini kalau berkembang yang untung orang Madura Pak, mengembangkan ekonomi Madura," ujar Misbakhun seraya mencandain anggota Komisi XI (baca: pak Eric Hermawan dapil Jatim XI). Menurut Misbakhun, kondisi yang dialami Gudang Garam harus dianalisis dan perlu mengatur exit strateginya, apakah ini juga dialami oleh pabrik rokok lainnya.
"Kalau ini dialami oleh pabrik rokok yang lainnya, berarti sistem tarif cukai yang selama ini selalu menggunakan single model yaitu kenaikan tarif dan selalu dikenakan pada golongan SKM I, maka kita harus mengkaji ulang, karena itu eksesif dari sisi apa produksi dan eksesif terhadap penerimaan cukai kita," terang politisi Partai Golkar itu.
Kebijakan Tarif Cukai
Terpisah, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrikkebijakan tarif cuka Rokok Indonesia (GAPPRI) secara prinsip mendukung dirumuskannya Peta Jalan (Roadmap) kebijakan tarif cukai danharga jual rokok eceran (HJE) untuk periode 2026 - 2029.
Ketua umum GAPPRI, Henry Najoan berpendapat, agar Peta Jalan (Roadmap) kebijakan ini efektif, efisien dan menciptakan iklim usaha yang kondusif, maka Perkumpulan GAPPRI meminta dua hal.
Pertama, agar selama tahun 2026 - 2029, industri hasil tembakau (lHT) diberi waktu pemulihan terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal dan produsennya, dengan cara tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) tidak dinaikkan.
"Kemudian, tahun 2029 saat daya beli membaik dapat dinaikkan sesuai kondisi pertumbuhan ekonomi atau inflasi," ujar Henry Najoan.