Liputan6.com, Jakarta Paris Saint-Germain (PSG) akan menghadapi Chelsea di final Piala Dunia Antarklub 2025, sebuah laga yang bukan hanya menjadi pertarungan dua raksasa Eropa, tapi juga peluang emas bagi PSG untuk mengukir sejarah. Pertandingan yang digelar di MetLife Stadium, East Rutherford, Senin, 14 Juli 2025 pukul 02.00 WIB, menjadi puncak dari perjalanan impresif tim asuhan Luis Enrique musim ini.
Setelah menghabisi Real Madrid dengan skor mencolok 4-0 di semifinal, PSG kini mengincar trofi kelima musim ini. Mereka sudah mengamankan Trophee des Champions, Coupe de France, Ligue 1, dan Liga Champions. Satu trofi lagi, dan Les Rouge et Bleu akan mencetak sejarah dengan menyapu bersih semua gelar bergengsi yang mereka ikuti.
Namun, keberhasilan mereka tak hanya datang dari nama besar dan deretan pemain bintang. Lebih dari itu, PSG tampil sebagai tim dengan mentalitas haus kemenangan. “Itu sudah menjadi bagian dari DNA kami, untuk selalu turun ke lapangan dengan keinginan menang,” ujar Senny Mayulu dengan nada tenang, tapi penuh makna. Kemenangan bukan sekadar tujuan, tapi bagian dari identitas mereka.
Darah Juara yang Mengalir di Setiap Lini
Perjalanan PSG ke final tidak dibangun dalam semalam. Sejak awal musim, Luis Enrique telah menanamkan filosofi menang kepada para pemainnya. “Pelatih kami [Luis Enrique] telah menanamkan mentalitas menang kepada kami sepanjang musim ini,” kata Mayulu. “Ia meletakkan dasar-dasarnya, dan kini hal itu menjadi bagian dari DNA tim meskipun kami masing-masing sebenarnya sudah punya pola pikir ingin memenangkan segalanya sejak awal.”
PSG mencatat skor 4-0 dalam tiga pertandingan berbeda di turnamen ini—menggulung Atletico Madrid, Inter Miami, dan Real Madrid dengan dominasi mutlak. Mereka bukan hanya menang, tapi membuat lawan-lawan mereka tampak kecil di lapangan. Mereka bukan cuma produktif, tapi sangat efektif.
Kemenangan atas Madrid menjadi titik kulminasi dari transformasi PSG. Tekanan tinggi dan permainan kolektif membuat lawan kehilangan arah. “Mereka mencekik kami dengan tekanan mereka. Saat kami menguasai bola, kami tidak bisa menemukan ruang untuk menenangkan diri atau menciptakan ancaman kepada mereka,” ujar kiper Madrid, Thibaut Courtois. “Saya pikir, perbedaannya ada pada cara mereka menekan dan cara kami menekan; kami tidak seefektif itu dan memberi mereka terlalu banyak waktu. Mereka adalah tim yang luar biasa, dan jika Anda memberi mereka terlalu banyak ruang dan waktu, mereka akan menghancurkan Anda.”
Kekuatan Kolektif di Atas Segalanya
Meski dipenuhi bintang, PSG menunjukkan bahwa kekuatan sejati mereka ada pada permainan kolektif. Vitinha, gelandang Portugal yang tampil gemilang di semifinal, menekankan bahwa keberhasilan tim bukan soal individu. “Kami punya pemain-pemain hebat secara individu, tapi kami bahkan lebih hebat sebagai tim. Itu kekuatan terbesar kami.”
Permainan yang kompak dan rapi menjadi identitas baru PSG. Mereka tak bergantung pada satu nama, melainkan bergerak sebagai satu kesatuan. Dominasi atas Real Madrid bukan hanya hasil taktik, tapi cerminan dari kerja tim yang berjalan sempurna di setiap lini.
Bagi PSG, final melawan Chelsea bukan sekadar pertandingan terakhir, tapi kesempatan untuk menutup musim dengan sejarah. “Itu akan sangat berarti bisa menjuarai Piala Dunia Antarklub, bukan hanya karena ini kompetisi bergengsi, tapi juga karena itu akan membuat kami memenangkan semua trofi musim ini. Itu akan menjadi sesuatu yang bersejarah. Kami tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini,” ujar Vitinha.
Api yang Tak Pernah Padam
Musim ini, PSG sudah melewati banyak momen puncak. Namun, semangat mereka tak pernah surut. Setelah menaklukkan Eropa lewat Liga Champions, mereka kini mengincar supremasi dunia. Tak ada tanda-tanda mereka akan mengendur.
Bagi para pemain muda seperti Mayulu, kemenangan atas Madrid terasa biasa saja. Itu seolah hanya bagian dari rutinitas PSG menuju final.
Kini, tantangan terakhir adalah Chelsea. Ini ujian sepadan untuk tim yang telah menunjukkan dominasi di setiap langkah. Namun, bagi PSG, ini bukan soal lawan yang ada di depan, melainkan bagaimana mereka menjaga api di dalam diri tetap menyala hingga akhir.
Sumber: FIFA