Tinggalkan Dogma Lama, Ini Bukti Fleksibilitas Antonio Conte yang Bikin Napoli Menakutkan

1 hour ago 3

Liputan6.com, Jakarta Antonio Conte sering dicap sebagai pelatih dogmatis, yang sangat identik dengan formasi 3-5-2. Formasi ini sudah memberinya banyak gelar juara bersama Juventus, Chelsea, dan Inter. Namun, citra tersebut kini perlahan mulai pudar. Di Napoli, Conte menunjukkan sisi lain dari dirinya: seorang manajer yang terus beradaptasi dengan perkembangan zaman.

Bahkan sebelum kembali melatih, Conte sudah menyiapkan diri dengan matang. Ia mengamati tren terbaru, menganalisis lawan, dan merancang ide-ide baru menggunakan papan Subbuteo di rumahnya. Proses inilah yang akhirnya melahirkan Napoli 3.0, versi terkini dari pelatih berusia 56 tahun tersebut.

Keberhasilan awalnya bersama Napoli bukan sekadar buah dari motivasi klasiknya. Itu adalah hasil dari fleksibilitasnya dalam menyesuaikan sistem permainan demi mengakomodasi para pemain bintang, seperti Kevin De Bruyne, McTominay, dan Andre-Frank Zambo Anguissa.

Kini, dengan sorotan yang kembali mengarah kepadanya di ajang Liga Champions, Conte menghadapi pertanyaan lama: bisakah fleksibilitas barunya membawa prestasi Eropa yang selama ini belum pernah ia raih?

Conte dan Transformasi Taktik di Napoli

Citra Conte sebagai pelatih yang kaku dengan formasi 3-5-2 telah melekat padanya sejak ia menangani Juventus lebih dari satu dekade lalu. Namun di Napoli, narasi itu mulai berubah. Pada laga melawan Fiorentina, contohnya, Partenopei tampil dengan pola empat bek, sebuah pendekatan yang jarang sekali dikaitkan dengannya.

Dalam pertandingan tersebut, Giovanni Di Lorenzo diberi peran hibrida. Ia tidak hanya menjadi bek kanan, tetapi juga bisa berfungsi sebagai gelandang atau bahkan bek tengah, tergantung pada kebutuhan tim. Fleksibilitas ini menjadi ciri baru yang terlihat dari Napoli di bawah asuhan Conte.

Selain itu, Conte juga menaruh kepercayaan yang besar pada Kevin De Bruyne. Gelandang asal Belgia ini diberi kebebasan untuk berpindah peran: sebagai nomor 6, 8, 10, atau bahkan sebagai false nine. Pergerakannya yang dinamis ini menciptakan ruang, memperluas jangkauan umpan, dan membuat permainan Napoli terlihat lebih cair.

Transformasi ini membuktikan bahwa Conte bukan lagi sekadar pelatih dogmatis. Ia berani meninggalkan pola lamanya demi memaksimalkan kualitas pemain yang ia miliki.

De Bruyne, McTominay, dan Adaptasi Conte

Kedatangan Kevin De Bruyne pada musim panas lalu menjadi ujian yang besar bagi Conte. Dalam sistem tradisionalnya, posisi De Bruyne bisa berbenturan dengan trio gelandang Napoli: McTominay, Lobotka, dan Anguissa. Namun, alih-alih mengorbankan salah satu, Conte justru merancang peran baru untuk sang playmaker.

Ini mengingatkan pada momen serupa saat ia menangani Juventus pada 2011. Kala itu, Conte harus menyesuaikan tim setelah Andrea Pirlo datang secara gratis dari Milan. Akhirnya, ia meninggalkan formasi 4-2-4 dan beralih ke 3-5-2, yang pada akhirnya membawa Juventus menjuarai Serie A tanpa terkalahkan.

Di Napoli, Conte mengambil arah sebaliknya. Untuk memberikan ruang bagi De Bruyne, ia mulai mencoba variasi formasi 4-3-3 dan 4-2-4, bahkan meninggalkan pakem lamanya. Hingga saat ini, hasilnya sangat positif. De Bruyne berhasil mencetak dua gol dalam tiga pertandingan pertamanya bersama Napoli.

Conte sendiri menegaskan bahwa seorang pelatih harus bisa membuat para pemainnya dapat coexist. Baginya, tugas utama seorang pelatih adalah menyatukan kualitas individu para pemain agar mereka bisa berfungsi secara maksimal dalam sebuah tim.

Ujian Liga Champions dan Kritik Lama

Meskipun meraih sukses besar di liga domestik, catatan Conte di Liga Champions masih menjadi tanda tanya. Sejak berhasil membawa Juventus ke perempat final pada 2013, ia belum pernah melangkah lebih jauh dalam kompetisi ini.

Faktanya, banyak tim yang pernah ia latih justru berhasil mencapai final Liga Champions tidak lama setelah ia meninggalkan klub. Juventus dan Inter Milan sama-sama berhasil menembus final kompetisi itu setelah kepergian Conte. Para kritikus pun menilai bahwa pelatih ini kurang mampu mengelola tim di level Eropa.

Namun, situasinya kali ini berbeda. Dengan format baru Liga Champions yang menyerupai fase liga, gaya manajemen Conte yang konsisten di kompetisi jangka panjang bisa menjadi keuntungan. Napoli juga berpotensi menjadi kuda hitam di Eropa.

Jika berhasil mematahkan stigma lamanya, Conte bisa membuktikan bahwa dirinya bukan hanya pelatih spesialis liga domestik, tetapi juga kompetisi kontinental.

Pada usia 56 tahun, Conte masih terus belajar dan beradaptasi. Ia membuktikan bahwa stereotipe lama tentang dirinya sudah tidak lagi relevan. Napoli 3.0 bisa menjadi bukti bahwa fleksibilitas adalah senjata terkuat Conte saat ini.

Read Entire Article
Bisnis | Football |