Liputan6.com, Jakarta Musim 2025/2026 belum berjalan mulus bagi Manchester City. Dua kekalahan beruntun di Premier League membuat tekanan semakin menumpuk jelang derby melawan Manchester United. Laga ini bukan sekadar soal gengsi, tetapi juga bisa menjadi titik balik perjalanan City musim ini.
Di Etihad Stadium, perhatian publik tertuju pada skuad asuhan Josep Guardiola. City kini tercecer di papan tengah, hanya mengoleksi tiga poin dari tiga laga awal. Situasi ini kontras dengan reputasi mereka sebagai tim dominan dalam satu dekade terakhir.
Pertanyaannya sederhana: apakah Manchester City akan bangkit dengan kemenangan, atau justru semakin terbenam dalam krisis jika kalah dari rival sekota?
Awal Terburuk Era Guardiola
City saat ini menduduki peringkat ke-13 klasemen Liga Inggris. Catatan ini menjadi awal terburuk Pep Guardiola sepanjang kariernya di liga domestik. Dua kekalahan dari tiga pertandingan sudah cukup memunculkan tanda bahaya, apalagi bila hasil minor kembali terjadi di derby.
The Citizens belum pernah merasakan dua kekalahan dari tiga laga awal sejak musim 2004/2005. Lebih jauh lagi, jika City kalah lagi, mereka bisa mengulangi catatan kelam 1995/1996, ketika terdegradasi setelah kalah tiga kali dari empat pertandingan pertama. Memang kondisinya berbeda, tapi catatan sejarah itu tetap jadi pengingat.
Guardiola berada dalam posisi yang sulit. Kontraknya masih berlaku hingga 2027, tapi tekanan semakin terasa. Ia menyadari masa depannya sangat bergantung pada performa tim. Kemenangan atas MU menjadi harga mati untuk meredakan kritik.
Tekanan di Ruang Ganti
Dua kekalahan beruntun bukan hanya soal statistik, tetapi juga merusak mental tim. Erling Haaland bahkan mengakui frustrasinya. Ia menganggap derby sebagai "momen sempurna" untuk bangkit dari keterpurukan.
Namun, jika hasil kembali mengecewakan, ruang ganti bisa menjadi ladang masalah. Suasana negatif mudah muncul, dan kepercayaan diri pemain bisa runtuh. Kondisi itu berisiko memperpanjang periode buruk yang dialami City sejak musim lalu, ketika mereka gagal meraih trofi utama dan hanya finis di posisi ketiga.
Bagi Guardiola, laga melawan MU adalah ujian kepemimpinan. Ia harus mampu menjaga fokus para pemain di tengah tekanan besar, baik dari media maupun fans.
Derita Cedera dan Dilema Taktik
City tidak hanya bermasalah dalam performa, tetapi juga diterpa badai cedera. Pemain-pemain inti seperti John Stones, Mateo Kovacic, hingga Josko Gvardiol diragukan tampil di derby.
Absennya mereka membuat Guardiola harus mencari kombinasi baru di lini belakang dan tengah. Pilihan taktik yang terbatas bisa menjadi kelemahan fatal saat menghadapi Manchester United. Dengan jadwal padat, City terancam kesulitan menjaga konsistensi jika cedera tak kunjung reda.
Guardiola dituntut jeli dalam meracik strategi, entah dengan mengandalkan pemain muda atau memodifikasi sistem permainan.
Derby yang Bisa Menentukan Musim
Derby Manchester selalu menjadi laga sarat gengsi, tetapi kali ini taruhannya lebih besar. Kekalahan dari MU bukan hanya memperburuk posisi City di klasemen, melainkan juga memberi keunggulan psikologis bagi rival sekota.
Manchester United datang dengan modal percaya diri. Mereka tak terkalahkan dalam empat pertemuan terakhir melawan City, termasuk kemenangan comeback di Etihad Desember lalu. Final Piala FA 2024 yang dimenangi MU juga mempertegas dominasi belakangan ini.
Jika City kembali tumbang, narasi krisis akan semakin menguat. Media dan penggemar tak akan segan melontarkan kritik keras. Lebih dari itu, ini bisa menjadi pertama kalinya sejak 2020 City menjalani derby dalam posisi tertinggal dari Manchester United di klasemen.
Dengan segala tekanan dan risiko yang ada, derby kali ini bisa menjadi titik balik—antara kebangkitan atau awal dari krisis yang lebih dalam.