Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi tengah menimbang untuk menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras medium. Namun, dia mengingatkan akan konsekuensi kenaikan harga di pasaran.
Hal ini menanggapi permintaan dari sejumlah pedagang beras dan pengamat soal kenaikan HET beras medium. Arief pun membuka kemungkinan tersebut.
"HET beras medium dinaikkan, ya ini kami pertimbangkan. Semua kemungkinan bisa terjadi," ungkap Arief, ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Dia menjelaskan telah lama mengumpulkan pemangku kepentingan di sektor beras. Pada April 2025 lalu, Arief telah mendiskusikan kemungkinan HET beras ketika harga gabah naik hingga Rp 7.500 per kilogram.
"Kami diskusi mengenai kalau gabah itu sampai di level Rp 7.000, kalau gabah itu sampai di level Rp 7.500, berapa HET-nya? HET itu harga eceran tertinggi, tertinggi itu plafon. Jika beras mediumnya memang perlu ditinjau ulang, ya kita tinjau ulang," ungkap Arief.
Asal tahu saja, HET beras medium dibagi tiga zona. HET Zona 1 ditetapkan Rp 12.500 per kilogram, Zona 2 Rp 13.100 per kilogram, dan Zona 3 Rp 13.500 per kilogram. HET beras medium nasional ditetapkan Rp 12.500 per kilogram.
Ada Konsekuensi Harga di Tingkat Konsumen
Arief mengatakan ada konsekuensi kenaikan harga di tingkat konsumen jika HET beras medium naik. Dia meminta tak ada keluhan jika ternyata harga beras melambung.
"Tapi, teman-teman juga harus siap. Apabila nantinya harga beras medium mencapai Rp 14.000, jangan mengeluh lagi mengenai penetapan harga beras medium oleh pemerintah. Jadi, yang benar itu harusnya wajar, yaitu harga yang wajar bagi penggilingan, petani, dan konsumen," tuturnya.
"Misalnya, jika tadi ada permintaan untuk ditinjau ulang, dan perhitungan sekarang menunjukkan beras mediumnya Rp 14.000, apakah siap? Kita harus duduk bersama. Yang harus dijaga Badan Pangan ini mulai dari petani, penggiling, hingga hilirnya," pungkas Arief.
Pedagang Minta HET Beras Medium Dicabut
Sebelumnya diberitakan, Ketua Koperasi Pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (KPPIBC) Zulkifli Rasyid meminta pemerintah mencabut harga eceran tertinggi (HET) untuk beras medium umum. Namun, dia sepakat HET tetap berlaku untuk beras cadangan Perum Bulog, Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Menurut Zulkifli, beras SPHP menjadi barang yang disubsidi pemerintah. Untuk itu sudah sepatutnya diatur pula harga jualnya agar lebih murah didapatkan oleh masyarakat. Namun, dia tak sepakat HET berlaku untuk beras umum, meski dalam level kualitas medium.
"Sebab, beras Bulog itu adalah modal dan subsidi pemerintah jika sudah dilepas ke masyarakat. Misalnya, belinya Rp 12.500, dijual Rp 11.000, berarti ada subsidi pemerintah Rp 1.500 per kilo; itu saya setuju HET-nya. Tapi, saya tidak sependapat dengan beras lokal, atau beras yang berasal dari luar, yang diterapkan HET," ungkap Zulkifli saat berbincang dengan Liputan6.com, di PIBC, Jakarta, Senin (14/7/2025).
Harga Beragam
Dia menjelaskan, biaya petani dalam menghasilkan beras kualitas medium sangat beragam, dan hal inilah yang turut menentukan harga jualnya. Sama seperti beras premium, kualitas medium pun punya tingkatannya sendiri.
Untuk bisa masuk ke Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), misalnya, ada beberapa standar tertentu yang bisa diterima. Dengan demikian, harga jualnya pun berbeda dengan patokan HET atas beras SPHP milik Bulog.
"Kalau beras non-Bulog diterapkan HET, saya rasa kurang tepat. Kalau Bulog diterapkan HET sangat tepat, karena itu pemerintah yang punya. Kalau mereka jual lebih dari Rp 12.500, tantangannya adalah penjara, itu kami setuju," tegas dia.
Lepas ke Mekanisme Pasar
"Akan lebih baik jika dilepas ke mekanisme pasar, karena produsen akan berlomba-lomba membuat produk yang sangat bagus. Beras saat ini sudah menjadi produk yang memiliki nilai tambah, bagaimana mengolah beras dengan nilai lebih," ucap dia.
"Dengan tampilan yang sangat bagus, dan hasil nasi yang berkualitas baik sehingga dapat membuat konsumen ketagihan," sambungnya.