Liputan6.com, Jakarta Ketika berbicara soal skill di sepak bola, yang sering terbayang adalah gocekan, trik, atau ketenangan dalam tekanan. Namun sesungguhnya, kemampuan paling esensial adalah akurasi dalam mengumpan dan mengubah peluang biasa menjadi gol.
Dalam konteks itu, Premier League sebentar lagi akan kehilangan dua pemain paling berbahaya dalam urusan umpan: Kevin De Bruyne dan Trent Alexander-Arnold. De Bruyne dikabarkan akan hengkang dari Manchester City, sementara Alexander-Arnold hampir pasti bergabung dengan Real Madrid.
Dua pemain ini bukan hanya piawai dalam mengirimkan bola ke kotak penalti, tapi juga telah mengubah cara kita melihat kreativitas di lapangan. Kepergian mereka akan menyisakan lubang besar dalam kualitas distribusi bola di liga.
Dominasi Statistik dan Nilai Tambah dalam Umpan
Secara statistik, De Bruyne adalah raja assist Premier League selama satu dekade terakhir. Alexander-Arnold, meski seorang bek kanan, berada di posisi empat besar sejak jadi starter reguler pada 2018.
Pemain seperti Mohamed Salah dan Son Heung-min juga masuk daftar assist tertinggi, namun kontribusi mereka lebih banyak dari sisi penyelesaian akhir.
Umpan-umpan mereka cenderung sederhana, tidak seperti De Bruyne dan Alexander-Arnold yang mampu menciptakan peluang dari situasi tidak berbahaya.
Kedua pemain ini bisa mengubah bola dari area netral menjadi peluang emas hanya dengan satu sentuhan. Itu bukan sekadar soal teknik, tapi juga kecerdasan membaca ruang dan pergerakan rekan.
Kreativitas Sejati Melebihi Kemampuan Set-Piece
James Ward-Prowse dikenal sebagai pengambil bola mati ulung, namun kontribusinya dalam permainan terbuka masih terbatas. De Bruyne dan Alexander-Arnold justru mampu menciptakan variasi umpan spektakuler di segala situasi.
Mereka bisa melepaskan umpan silang tajam, switch ke sisi berlawanan, hingga cutback mendekati garis gawang. Hebatnya, meski dominan dengan kaki kanan, keduanya juga fasih menggunakan kaki kiri.
Kombinasi visi dan presisi ini jarang dimiliki pemain lain di Premier League saat ini. Mereka bukan hanya kreator, tapi juga inovator dalam distribusi bola.
Evolusi Taktik Lewat Peran Unik di Lapangan
De Bruyne adalah pelopor posisi "free eight" dalam sistem Pep Guardiola, beroperasi di antara garis vertikal dan horizontal lawan. Posisi ini membuatnya sulit dijaga karena terus bergerak di ruang antar pemain.
Manchester City menyempurnakan skema ini dengan memainkan winger kaki kiri di kanan untuk membuka ruang bagi De Bruyne. Salah satu contoh nyata adalah saat dia memberi assist ke Haaland dalam kemenangan krusial atas Tottenham.
Alexander-Arnold pun berevolusi dari bek kanan menjadi semacam deep-lying playmaker. Perpindahannya ke tengah lapangan membuka dimensi baru dalam permainan Liverpool.
Bukan Sekadar Bek atau Gelandang Biasa
Trent kerap dibandingkan dengan full-back ofensif lain, tapi sangat sedikit yang menjadi pusat kreativitas tim. Bahkan Gareth Southgate sempat mencoba memainkannya di lini tengah untuk memaksimalkan visinya.
Jurgen Klopp sendiri kemudian mengadopsi gaya Guardiola dengan mendorong Trent ke tengah dalam situasi tertentu. Tujuannya bukan defensif, tapi membuka jalur umpan yang lebih luas ke depan.
Tak ada full-back lain di Premier League yang bisa memainkan bola seperti playmaker klasik sebagus Trent. Ia lebih mirip Andrea Pirlo ketimbang bek sayap konvensional.
Warisan Gaya Bermain: Umpan Silang Modern
De Bruyne dan Alexander-Arnold menghidupkan kembali seni umpan silang di era ketika banyak tim tidak lagi memakai striker klasik. Umpan mereka tak mengandalkan tinggi badan penerima, tapi keakuratan lintasan.
Mereka mahir memberikan bola yang membelah lini belakang dengan akurat, mengatur kecepatan dan arah sesuai pergerakan penyerang. Ini memberi dimensi tambahan dalam serangan tim.
Secara anatomis memang tak masuk akal, tapi dalam sepak bola, keduanya memiliki kaki kanan sekelas kaki kiri terbaik dunia. Sebuah pujian tertinggi bagi pengumpan elit.