Liputan6.com, Jakarta - Harga emas mencapai rekor tertinggi pada perdagangan Kamis, 27 Maret 2025. Kenaikan harga emas terjadi di tengah investor mencari aset safe haven sebagai respons meningkatnya ketegangan perdagangan global dan jatuhnya bursa saham. Hal itu seiring pengumuman tarif otomotif baru oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Mengutip CNBC, Jumat (28/3/2025), harga emas di pasar spot naik 1,1 persen menjadi USD 3.052,24 per ounce setelah mencapai rekor tertinggi sepanjang masa di USD 3.059,30. Harga emas batangan telah mencatat rekor tertinggi sebanyak 17 kali pada 2025.
Harga emas berjangka AS naik 1,5 persen menjadi USD 3.066,6 juga mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada USD 3.070,90 pada awal sesi perdagangan.
“Sepertinya kita akan melihat (harga emas berjangka mencapai) USD 3.100 di sini segera dan katalis utamanya adalah pembelian safe haven didorong oleh ketidakpastian seputar rencana tarif Trump,” ujar Senior Market Strategist RJO Futures, Bob Haberkorn seperti dikutip dari CNBC.
Di sisi lain pemerintah Kanada hingga Paris mengancam akan membalas setelah Donald Trump mengumumkan tarif dagang sebesar 25 persen untuk kendaraan impor yang akan mulai berlaku sehari setelah ia akan mengumumkan tarif timbal balik yang ditujukan kepada negara-negara yang menurut dia bertanggung jawab atas sebagian besar defisit perdagangan AS.
Selain itu, bursa saham global jatuh seiring saham di beberapa produsen mobil terbesar di dunia anjlok.
Chief Market Strategist Blue Line Futures, Phillip Streible menilai, emas juga mendapatkan dukungan dari arus masuk dana bank sentral yang kuat dan permintaan ETF.
Investor kini tengah menunggu data pengeluaran konsumsi pribadi AS yang akan dirilis pada Jumat pekan ini untuk mengukur lintasan penurunan suku bunga lebih lanjut, setelah keputusan the Federal Reserve (the Fed) pekan lalu yang mempertahankan suku bunga acuannya.
Prediksi Goldman Sachs
Adapun emas secara tradisional dipandang sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian ekonomi dan politik sering kali tumbuh subur dalam lingkungan suku bunga rendah.
Adapun Goldman Sachs menaikkan prediksi harga emas pada akhir 2025 menjadi USD 3.300 per ounce dari USD 3.100. Hal itu dengan alasan arus masuk ETF yang lebih kuat dari perkiraan dan permintana bank sentral yang berkelanjutan.
Harga perak di pasar spot naik 1,8 persen menjadi USD 34,30 per ounce setelah mencapai level tertinggi sejak Oktober 2024 pada awal sesi perdagangan. Harga platinum naik 0,7 persen menjadi USD 981,60 per ounce dan paladium bertambah 0,7 persen menjadi USD 974,85.
Prediksi Harga Emas Jelang Lebaran, Bakal Naik Terus Atau Terkoreksi?
Sebelumnya, pasar emas masih bertahan di atas USD3.000 per ons, tetapi mengalami aksi ambil untung menjelang akhir pekan setelah harga emas gagal mempertahankan posisi di atas USD3.057 per ons.
Meskipun emas masih berpotensi naik, beberapa analis mengatakan bahwa konsolidasi di level saat ini akan sehat untuk tren jangka panjangnya. Harga emas spot terakhir diperdagangkan di USD3.014,20 per ons, turun hampir 1% dalam sehari, tetapi masih naik 1% dibandingkan Jumat (21/3) lalu.
Dikutip dari laman Kitco.com Senin (24/3/2025), Kepala Strategi Emas di State Street Global Advisors George Milling Stanley, memperkirakan bahwa harga emas bisa tetap di sekitar USD3.000 selama beberapa bulan ke depan seiring investor beradaptasi dengan level baru ini.
"Saya akan lebih yakin bahwa harga emas bisa bertahan di atas USD3.000 jika butuh waktu beberapa bulan untuk benar-benar melewati level ini," ujar Stanley.
Meskipun ia tidak memperkirakan rekor harga baru dalam waktu dekat, ia juga tidak melihat faktor besar yang dapat menekan harga emas secara signifikan.
Kemungkinan Koreksi
Kemudian, Kepala Strategi Komoditas di Saxo Bank Ole Hansen, mengatakan bahwa emas bisa turun USD100 tanpa mengganggu tren kenaikan saat ini.
"Jika Anda seorang manajer aset yang ingin mengalokasikan dana ke emas dari saham karena khawatir tentang stagflasi, Anda mungkin akan menyambut baik koreksi USD100 ini," ujarnya.
Hansen menyebutkan bahwa level support utama pertama yang ia pantau adalah USD2.955, yang merupakan level tertinggi bulan lalu sebelum terjadi kenaikan pekan lalu.
Analis Senior di Trade Nation, David Morrison, juga akan mengamati apakah emas bisa bertahan di USD3.000.
"Emas memang sedikit turun dari level tertingginya, tetapi tidak signifikan," katanya.
Morrison menilai, indikator teknikal emas masih menunjukkan tren kuat, tetapi koreksi lebih dalam bisa membantu membentuk dasar untuk kenaikan berikutnya. Uji coba di level USD3.000 sebagai support masih sangat mungkin terjadi.
Inflasi Bisa Menahan Kenaikan Emas
Dalam sebuah catatan pada Jumat, Thu Lan Nguyen, Kepala Riset di Commerzbank, mengatakan bahwa kekhawatiran inflasi bisa menahan kenaikan emas.
Pada hari Rabu, setelah mempertahankan suku bunga tetap, Federal Reserve memperbarui proyeksi inflasinya dan memperkirakan harga konsumen naik 2,8% tahun ini, lebih tinggi dari perkiraan Desember sebesar 2,5%.
Meskipun Ketua Federal Reserve Jerome Powell meremehkan ancaman inflasi, Nguyen mengatakan investor tetap berhati-hati.
"Federal Reserve sebelumnya juga menganggap lonjakan inflasi 2021/22 hanya sementara, tetapi akhirnya harus mengambil tindakan agresif karena kenaikan harga yang tajam. Jika skenario serupa terjadi, itu bisa menjadi berita buruk bagi emas," katanya.
Namun, Nguyen menambahkan bahwa setiap koreksi harga emas kemungkinan besar akan menjadi peluang beli."Emas semakin diminati sebagai aset safe haven, terutama karena ketegangan geopolitik. Selama faktor ini masih berperan, potensi penurunan harga emas akan tetap terbatas," ujarnya.
Data Inflasi
Meskipun momentum teknikal telah mendorong harga emas di atas USD3.000, beberapa analis memperkirakan harga emas masih bisa dipengaruhi oleh data ekonomi—terutama inflasi yang lebih tinggi dan aktivitas ekonomi yang melemah, yang dapat meningkatkan risiko stagflasi.
Data utama yang perlu diperhatikan minggu depan adalah Indeks Pengeluaran Konsumsi Pribadi Inti (Core PCE), yang tidak termasuk harga energi dan makanan, serta merupakan indikator inflasi pilihan Federal Reserve.
Pasar juga akan memantau bagaimana daya beli konsumen AS bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi yang meningkat.