Liputan6.com, Jakarta - Harga Emas terus bergerak turun, sempat diperdagangkan di titik terendah dalam tujuh minggu di kisaran USD 2.600 per ons sebelum turun lebih jauh ke kisaran USD 2.540 per ons pada Kamis 15 November 2024.
Analisis dari Andy Nugraha Dupoin Indonesia menjelaskan, pelemahan harga emas ini dipengaruhi oleh penguatan Dolar AS (USD) yang memberikan tekanan besar pada logam mulia. Kombinasi berbagai faktor fundamental memperkuat tekanan pada emas.
Berita Partai Republik kini menguasai mayoritas di Kongres AS meningkatkan ekspektasi pasar terhadap kebijakan ekonomi pro-USD dari Presiden terpilih Donald Trump. Kebijakan tersebut diperkirakan akan bersifat inflasi tetapi secara keseluruhan mendukung penguatan Dolar AS.
"Karena emas sebagian besar dihargakan dalam USD, apresiasi Greenback menjadi pendorong utama pelemahan harga logam mulia," kata dia dalam keterangan tertulis, Jumat (15/11/2024).
Selain itu, pasar saham AS yang menguat juga menjadi faktor lain yang mengalihkan perhatian investor dari emas. Harapan akan pajak perusahaan yang lebih rendah serta regulasi yang lebih longgar di bawah pemerintahan baru Trump memicu optimisme, sehingga meningkatkan laba perusahaan dan menurunkan daya tarik emas sebagai aset safe haven.
Teknikal
Di sisi teknikal, Andy melihat bahwa, emas saat ini berada dalam tren bearish yang kuat, sebagaimana ditunjukkan oleh kombinasi indikator Moving Average. Proyeksi menunjukkan bahwa harga emas berpotensi melanjutkan penurunan menuju USD 2.550. Namun, jika terjadi rebound, harga dapat meningkat ke level USD 2.578 sebagai target terdekat.
Permintaan Emas Global Turun
Sementara itu, prospek suku bunga Federal Reserve turut memengaruhi sentimen terhadap emas. Data inflasi AS yang dirilis baru-baru ini memperkuat ekspektasi bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan Desember.
Meskipun suku bunga yang lebih rendah biasanya positif untuk emas, efek ini diimbangi oleh penguatan USD yang lebih dominan dalam kondisi pasar saat ini.
Permintaan emas global juga menunjukkan penurunan, terutama di Tiongkok, konsumen terbesar emas di dunia. Perlambatan ekonomi Tiongkok, yang diperburuk oleh meningkatnya perang dagang dengan AS, menjadi salah satu faktor pelemahan permintaan. Selain itu, perkembangan geopolitik turut memengaruhi pergerakan harga emas.
Meski biasanya emas naik di tengah ketidakpastian geopolitik, beberapa tanda de-eskalasi konflik global menahan lonjakan harga. Misalnya, langkah Korea Selatan membatalkan bantuan mematikan ke Ukraina dan upaya gencatan senjata di Timur Tengah memberikan sentimen positif yang mengurangi kebutuhan investor terhadap aset safe haven seperti emas.
Dengan kombinasi faktor-faktor ini, Andy Nugraha memperingatkan bahwa tekanan pada emas kemungkinan akan terus berlanjut, terutama jika penguatan Dolar AS dan optimisme terhadap kebijakan Trump mendominasi sentimen pasar.