Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan sebanyak 198 perusahaan industri sedang dalam proses pembangunan fasilitas produksi atau pabrik.
Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif mengatakan, 198 pabrik tersebut diperkirakan menyerap hingga 24.568 tenaga kerja. Laporan tersebut datang dari Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) selama dua bulan terakhir.
"Berdasarkan laporan ke SIINas, selama bulan Januari hingga Februari ada sekitar 198 perusahaan industri yang melaporkan sedang proses membangun fasilitas produksi dengan rencana penyerapan tenaga kerja sebanyak 24.568," ungkap Febri dalam Konferensi Pers IKI Maret 2025 yang disiarkan pada Rabu (26/3/2025).
Menurut Febri, kanar tersebut mencerminkan bahwa industri manufaktur dalam negeri masih memiliki daya tarik yang cukup baik.
"Masih banyak investor yang mau dan sedang berinvestasi membangun fasilitas produksinya di Indonesia, serta menyerap tenaga kerja yang jauh lebih banyak," ucapnya.
Kemenperin mencatat Indeks Kepercayaan Industri (IKI) di Indonesia mencapai 52,98 pada Maret 2025. Angka tersebut menandai sedikit perlambatan hingga 0,17 poin, di mana pada Februari 2025 nilai IKI mencapai 53,15. Nilai IKI pada Maret 2025 juga melambat 0,07 poin dari yang tercatat di periode yang sama tahun lalu sebesar 53,05.
Subsektor dengan Nilai IKI Tertinggi
"Sebanyak 21 subsektor mengalami ekspansi, di mana kontribusi 21 subsektor yang ekspansi tersebut terhadap PDB triwulan IV 2024 sebesar 96,5 persen,” ungkap Febri.
Artinya, dari 23 subsektor yang dikelola oleh Kementerian Perindustrian, hampir sebagian besar subsektor penyumbang PDB nasional berada pada posisi atau berstatus ekspansi.
Febri mengungkapkan, subsektor dengan nilai IKI tertinggi adalah industri percetakan reproduksi media rekaman, industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional.
"Untuk industri yang mengalami ekspansi paling tinggi, kita lihat industri pencetakan dan reproduksi media rekaman, dan industri farmasi, mengalami ekspansi, memiliki IKI tertinggi,,” bebernya.
2 Subsektor Alami Kontraksi
Sementara itu, terdapat dua subsektor yang mengalami kontraksi yakni subsektor karet, barang dari karet, barang dari plastik, serta subsektor industri furniture.
Adapun industri pencetakan dan reproduksi itu yang mengalami permintaan yang cukup tinggi, terutama terkait dengan kemasan produk industri makanan dan minuman.
Industri farmasi, produksi obat kimia dan obat tradisional juga mengalami permintaan yang cukup tinggi, terutama pada sisi industri farmasi. Febri menuturkan, perkembangan ini disebabkan karena meningkatnya permintaan di subsektor tersebut.
Kemenperin Usul Insentif PPnBM Kendaraan Hybrid 3%
Sebelumnya, industri otomotif tengah menghadapi tantangan yang cukup berat. Industri ini tengah terbentur pelemahan daya beli. Terbukti, periode Januari - Desember 2024, total penjualan mobil secara wholesales tercatat sebesar 865.723 unit atau turun 13,9% secara year-on-year (YoY) dari periode sama 2023.
Selain itu, pada 2025 ini kinerja industri otomotif diproyeksi terus menurun karena adanya implementasi kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) serta penerapan opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB).
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Setia Darta mengatakan, sebagai salah satu sektor yang memiliki kontribusi signifikan terhadap PDB nasional, industri otomotif mencatatkan perkiraan penurunan sebesar Rp 4,21 triliun pada 2024.
"Ini berimbas ke sektor backward linkage sebesar Rp 4,11 triliun dan sektor forward linkage sebesar Rp3,519 triliun,” kata Setia Darta pada acara diskusi yang bertajuk “Prospek Industri Otomotif 2025 dan Peluang Insentif dari Pemerintah” di Jakarta, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (15/1/2025).
Insentif PPN DTP
Menyadari pentingnya sektor otomotif bagi kontribusi ekonomi Indonesia dan tantangan yang dihadapi pada 2025, Kementerian Perindustrian secara aktif menyampaikan usulan insentif dan relaksasi kebijakan kepada pemangku kepentingan terkait. Beberapa usulan insentif itu antara lain PPnBM ditanggung pemerintah (PPnBM DTP) untuk kendaraan hybrid (PHEV, full, mild) sebesar 3%.
Selain itu, insentif PPN DTP untuk kendaraan EV sebesar 10% untuk mendorong industri kendaraan listrik, dan penundaan atau keringanan pemberlakuan opsen PKB dan BBNKB.
“Saat ini sebanyak 25 provinsi yang menerbitkan regulasi terkait relaksasi opsen PKB dan BBNKB. Kebijakan ini diharapkan mampu memberikan dukungan nyata terhadap keberlanjutan industri otomotif nasional serta menjaga daya saingnya di pasar domestik maupun global,” ungkap Dirjen ILMATE.
Ke-25 provinsi itu di antaranya Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, NTB, Bali, Kepulauan Riau, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.
Dampak Opsen Pajak
Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara menuturkan, diperlukan dukungan kebijakan dari pemerintah, termasuk untuk mengatasi dampak opsen pajak kendaraan bermotor sehingga industri kendaraan bermotor nasional tetap bisa tumbuh.
“Dukungan insentif dapat meningkatkan pertumbuhan industri kendaraan bermotor, yang terlihat pada peningkatan penjualan. Ini akan menggairahkan industri komponen, industri perbankan, hingga lembaga pembiayaan,” ungkapnya.
Gaikindo, kata Kukuh, meminta semua kendaraan berteknologi elektrifikasi (xEV), meliputi HEV, PHEV, dan BEV, diberi kesempatan untuk mendapatkan insentif sesuai dengan kontribusi dalam penurunan emisi karbon dioksida (CO2) dan bahan bakar minyak (BBM).
“Meningkatnya perkembangan pasar xEV dapat memberikan dampak pada pendalaman industri untuk xEV juga potensi peningkatan ekspor xEV,” imbuhnya.
Pengamat Otomotif LPEM Universitas Indonesia, Riyanto menyatakan, pasar mobil membutuhkan intervensi cepat, karena kondisi semakin berat. Adapun perbaikan fundamental, berupa penguatan daya beli dan akselerasi pertumbuhan ekonomi merupakan solusi jangka panjang.
Berdasarkan hitungan LPEM Universitas Indonesia, pemberian insentif bakal berdampak positif terhadap ekonomi. Kontribusi industri mobil baik langsung dan tidak langsung terhadap produk domestik bruto (PDB) akan mencapai Rp177 triliun dengan tarif PPnBM 10%, lalu Rp181 triliun dengan PPnBM 7,5%, Rp185 triliun PPnBM 5%, dan Rp194 triliun dengan PPnBM 0%, dibandingkan skema business as usual Rp168 triliun.
Selain itu, akan ada tambahan tenaga kerja otomotif sebanyak 7.740 orang dengan PPnBM 10%, lalu 11.611 orang (PPnBM 7,5%), 15.481 orang (PPnBM 5%), dan 23.221 orang (PPnBM 0%). Riyanto juga mengusulkan PPnBM mobil murah tahun ini bisa dikembalikan ke 0% dari saat ini 3%. “Adapun insentif PPnBM untuk mobil pertama layak dipertimbangkan, bersama lokalisasi, ekspor, dan litbang karena bakal berimbas positif terhadap industri otomotif,” pungkasnya.