Liputan6.com, Jakarta Manchester United kembali menelan kenyataan pahit setelah dibantai Manchester City dengan skor 0-3. Kekalahan ini memperpanjang catatan buruk mereka dalam derby, karena terakhir kali menang lebih dari dua gol atas City terjadi pada Februari 1995. Pep Guardiola kini sudah tujuh kali menaklukkan United dengan selisih tiga gol.
Alih-alih memberi optimisme usai jeda internasional, duel di Etihad justru menyingkap jurang perbedaan kualitas kedua tim. City sudah berpesta dengan tarian Poznan di menit ke-70, sementara suporter United memilih meninggalkan tribun sebelum laga usai. Kekalahan telak ini kembali menempatkan Ruben Amorim dalam sorotan.
Padahal, start United di awal musim 2025/26 sebenarnya cukup menjanjikan. Namun, performa tim di laga-laga besar mengungkap kesulitan mereka dalam mengontrol permainan dan memanfaatkan momen dominasi. Derby ini menjadi potret paling jelas dari masalah itu.
Taktik Amorim dan Lubang di Lini Pertahanan
Amorim mencoba melawan dominasi City dengan pendekatan agresif. United berusaha memancing pressing lawan di tengah, lalu melepaskan bola ke sayap. Namun intensitas permainan mereka tak cukup untuk menembus blok City, membuat lini depan jarang mendapat peluang berarti.
Saat tidak menguasai bola, masalah semakin nyata. Pertahanan United tidak kompak menghadapi serangan balik City, terutama dalam mengawal Erling Haaland. Striker asal Norwegia itu terlalu mudah mendapat ruang dan akhirnya mencetak dua gol.
Gol ketiga City mencerminkan semua kelemahan United. Bermula dari umpan salah Manuel Ugarte kepada Luke Shaw, bola direbut Bernardo Silva yang langsung memberi umpan kepada Haaland. Dengan garis pertahanan terlalu tinggi dan minim koordinasi, Haaland berlari bebas tanpa lawan sebelum menaklukkan Altay Bayindir.
Dua Sudut Pandang Soal Amorim
Kekalahan ini menimbulkan perdebatan di kalangan pengamat dan fans. Ada dua pandangan utama soal posisi Amorim di United.
Pertama, yang melihat laga ini sekadar awal sulit di musim baru. Absennya pemain penting seperti Matheus Cunha, Mason Mount, dan Diogo Dalot dinilai menghambat perkembangan tim. Dengan waktu dan skuad lengkap, Amorim dipercaya bisa membangun stabilitas yang dibutuhkan.
Namun ada juga pandangan kedua yang lebih kritis. Statistik mencatat Amorim sudah kalah 20 kali dari 47 pertandingan sejak menangani United, termasuk dua kekalahan lewat adu penalti.
Skema 3-4-3 yang ia usung dianggap tidak memaksimalkan kekuatan terbaik tim, bahkan membuat pemain kreatif seperti Bruno Fernandes tidak punya peran berarti dalam derby.
Amorim Teguh dengan Filosofinya
Meski kritik semakin tajam, Amorim menegaskan tidak akan mengubah pendekatannya. “Saya percaya pada cara saya, dan saya akan tetap bermain dengan cara saya sampai saya ingin mengubahnya. Jika tidak, berarti Anda harus ganti orangnya,” ujar Amorim selepas pertandingan.
Pelatih asal Portugal itu menilai filosofi yang ia usung masih relevan. Ia menekankan bahwa setiap kekalahan bukan alasan untuk meninggalkan prinsip permainan yang diyakininya. Amorim hanya membuka kemungkinan perubahan jika ia sendiri merasa waktunya tepat.
Namun, pertanyaan terbesar kini bukan soal keyakinan Amorim, melainkan apakah para pemain United mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan taktiknya.
Dengan posisi di peringkat ke-14 klasemen Premier League, jarak dengan tim papan atas semakin melebar. United harus segera menemukan jawaban sebelum musim ini berubah menjadi perjalanan panjang yang penuh kekecewaan.