Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pendanaan P2P lending mencapai Rp 72,03 triliun hingga kuartal III 2024.
Direktur Pengawasan Usaha Pembiayaan Berbasis Teknologi OJK, Indra menyebutkan, akumulasi penyaluran pendanaan Rp 978,39 triliun dengan nilai outstanding Rp 74,48 triliun dan TKB90 97,62%.
Dari sisi platformnya, hingga September 2024 terdapat 89 platform P2P lending. Terdiri dari 91 penyelenggara konvensional dan 7 penyelenggara syariah. Namun belakangan, OJK melakukan pencabutan izin satu penyelenggara, sehingga totalnya saat ini sebanyak 97 platform.
"Per 21 Oktober 2023, Investree telah cabut izin usaha. Jadi sekarang ada 97 platform," beber Indra dalam Workshop Jurnalis, Sabtu (9/11/2024).
Total aset P2P lending sampai dengan September 2024 tercatat senilai Rp 8,1 triliun. Terdiri dari konvensional senilai Rp 7,95 triliun dan syariah Rp 177,48 triliun. Pada periode yang sama, tercatat 21,8 juta rekening pengguna aktif. Akumulasi rekening borrower mencapai 137,35 juta dengan rekening aktif sebesar 20,9 juta. Akumulasi rekening lender mencapai 2,08 juta dengan rekening aktif sebesar 919.310.
"Borrower didominasi Gen Z dan Gen Y sebanyak 12,39 juta (59,3%) dari total borrower aktif," ungkap Indra.
Peluang industri P2P lending Peluang industri ini, pertama mengacu pada potensi dan adopsi layanan digital masyarakat penetrasi pengguna internet terus meningkat menjadi 215,6 juta pengguna internet (78,19%) naik 2,67% YoY dan masih terdapat GAP pendanaan yang besar mencapai Rp 2.400 triliun. Sehingga industri memiliki potensi terus tumbuh.
Lalu penetapan UU PPSK. UU PPSK telah diundangkan dan memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi industri P2P Lending termasuk antara lain, memberikan dasar hukum bagi penyelenggara P2P Lending illegal agar dapat dipidanakan (Pasal 298 ayat (1) dan (8)) yang berlaku 3 (tiga) tahun setelah diterbitkan (2026) (Pasal 318 huruf b).
Perlindungan Data
Implementasi perlindungan data. UU No. 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi melandasi perlunya peningkatan keamanan bertransaksi, mitigasi penyalahgunaan data pribadi dan serangan siber. Serta dukungan asosiasi dan stakeholders.
"Implementasi market conduct dan penguatan peran asosiasi. Kewajiban keterbukaan informasi yang mendukung stakeholders turut serta melakukan pengawasan sehingga mendorong perbaikan GRC," kata Indra.
Sementara tantangannya, pertama pertumbuhan industri sangat tinggi. Transaksi sangat cepat, keamanan cyber dan teknologi informasi, penyelenggara didominasi millennial. Kemudian governance, risk management & compliance (CRG) relatif rendah. Bersamaan dengan itu, literasi digital dan keuangan masyarakat rendah, dibayangi pinjol ilegal.
Kasus Pinjol Makin Marak, OJK Terbitkan Aturan Fintech P2P Lending
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan aduan soal Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) meningkat setiap tahun.
Peningkatan aduan ini juga di tengah tingkat inklusi dan literasi masyarakat mengenai industri dan produk Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi masih sangat rendah yang berdasarkan data survei nasional literasi dan inklusi Tahun 2022.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan (PVML) OJK Agusman menuturkan, kondisi itu sejalan masih maraknya kasus masyarakat yang terjerat pinjol ilegal.
“Data OJK juga menunjukkan pengaduan semakin meningkat setiap tahunnya,” tutur Agusman dalam acara peluncuran Roadmap Pengembangan dan Penguatan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, dikutip dari Kanal Bisnis Liputan6.com, Sabtu (11/11/2023).
Melihat kondisi itu, OJK merilis surat edaran OJK atau SEOK Nomor 19/SEOJK Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) yang rilis pada 8 November 2023.
Atur Batas Manfaat Ekonomi
Agusman menuturkan, UU yang dikeluarkan tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan atau undang-undang (P2SK), LPBBTI saat ini telah memiliki landasan yang sangat kuat bagi penyelenggaraan kegiatan usaha.
"Untuk itulah diperlukan suatu roadmap yang akan memperjelas arah pengembangan dan penguatan kedepan dari industri LPBBTI ini," tutur dia.
Adapun atas latarbelakang tersebut, OJK melibatkan berbagai stakeholder baik internal maupun eksternal, telah melakukan penyusunan roadmap pengembangan dan penguatan LPBBTI 2023-2028.
"Kehadiran roadmaps ini dibutuhkan untuk membenahi serta mendorong kontribusi industri ini terhadap perekonomian nasional, khususnya dalam rangka pembiayaan sektor produktif dan UMKM," ujar dia.
Mengatur Batas Manfaat Ekonomi
Pada surat edaran OJK itu mengatur batas maksimum manfaat ekonomi atau bunga pinjaman terhadap industri fintech peer-to-peer lending atau lebih dikenal pinjaman online (pinjol). Hal ini diimplementasikan secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun antara 2024-2026.
Bunga Pinjaman
Berdasarkan peraturan di Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) batasan tingkat suku bunga jasa layanan fintech semula sebesar 0,4 persen per hari. Akan tetapi, dengan ada SE OJK itu menjadi 0,3 persen hingga nanti di level 0,1 persen per hari.
“Untuk pendanaan konsumtif mulai Januari 2024 itu 0,3 persen per hari. Kemudian tahun 2025 0,2 persen per hari. Mulai 2026 dan seterusnya, 0,1 persen per hari," kata Agusman.
Sedangkan untuk pendanaan produktif pada tahun 2024-2025 bunga pinjamannya menjadi 0,1 persen per hari. Kemudian tahun 2026 dan seterusnya akan menjadi lebih kecil yakni 0,067 persen per hari.
Agusman mengungkapkan, alasan batasan tingkat suku bunga produktif lebih rendah dibandingkan konsumtif yaitu untuk mendorong UMKM agar lebih produktif lagi dalam memperoleh pendanaan.
"Mengapa yang produktif jauh lebih rendah, ini memang untuk mendorong kegiatan produktif. Karena selama ini UMKM kita, kegiatan kegiatan produktif, salah satu yang menjadi kendala bagi mereka adalah mahalnya pendanaan ini," tutur Agusman.
Denda Tak Boleh 100 Persen
Untuk melindungi kepentingan konsumen, seluruh manfaat ekonomi dan denda keterlambatan yang dapat dikenakan tidak dapat melebihi 100 persen dari nilai pendanaan yang tercantum dalam perjanjian pendanaan.
Denda keterlambatan untuk pendanaan konsumtif, mulai 2024 menjadi maksimum 0,3 persen per hari, selanjutnya tahun 2025 menjadi 0,2 persen per hari, lalu tahun 2026 dan seterusnya menjadi 0,1 persen per hari.
Sementara untuk denda keterlambatan pada pendanaan produktif sebesar 0,1 persen per hari untuk tahun 2024-2025, selanjutnya pada tahun 2026 dan seterusnya akan dikenakan denda sebesar 0,067 persen per hari.