QRIS Ganggu Bisnis Visa dan Mastercard di Indonesia

7 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat perbankan Josua Pardede menilai bahwa dalam jangka panjang, penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) berpotensi mengganggu model bisnis raksasa pembayaran global seperti Visa dan Mastercard, terutama di segmen transaksi ritel domestik dan UMKM.

"Ya, dalam jangka panjang, QRIS berpotensi mengganggu model bisnis Visa dan Mastercard, terutama di segmen transaksi ritel domestik dan UMKM," kata Josua kepada Liputan6.com, Senin (28/4/2025).

Menurut Josua, QRIS memungkinkan pembayaran digital langsung antarbank dan antaplatform melalui kode QR tanpa bergantung pada jaringan internasional. "Sehingga mengeliminasi biaya switching ke luar negeri," ujarnya.

Dengan demikian, ketergantungan masyarakat terhadap kartu kredit dan debit asing pun semakin menurun. Saat ini, penetrasi QRIS telah mencapai lebih dari 30 juta merchant di sektor informal, mayoritas di antaranya merupakan pelaku UMKM. Kondisi ini dinilai telah menggerusruang pertumbuhan pasar tradisional Visa dan Mastercard di Indonesia.

Lebih lanjut, Josua menambahkan bahwa jika pengembangan QRIS lintas negara, termasuk fitur penyelesaian transaksi dengan mata uang lokal (cross-border local currency settlement), semakin luas, maka ancaman terhadap dominasi Visa dan Mastercard akan menjadi semakin nyata.

Tak heran, kata dia, jika QRIS menjadi salah satu perhatian utama Amerika Serikat dalam laporan United States Trade Representative (USTR) baru-baru ini.

"Maka tak mengherankan bila QRIS menjadi salah satu fokus keberatan AS dalam laporan USTR," jelasnya.

QRIS Kena Tegur AS

Sebelumnya, USTR menyoroti mengenai penerapan QRIS yang diatur dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 21/18/PADG/2019 berpotensi membatasi ruang gerak perusahaan asing untuk bersaing di pasar pembayaran digital Indonesia.

Kritik tersebut dianggap sebagai salah satu hambatan perdagangan, sebagaimana tercantum dalam laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025.

"Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, menyampaikan kekhawatirannya karena selama proses penyusunan kebijakan kode QR oleh BI," tulis USTR.

AS soal GPN

USTR menjelaskan berdasarkan Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) mengharuskan semua transaksi ritel domestik menggunakan kartu debit dan kredit diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin dari BI.

"Peraturan ini menetapkan batas kepemilikan asing sebesar 20 persen bagi perusahaan yang ingin memperoleh lisensi switching untuk berpartisipasi dalam GPN, serta melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi ritel domestik dengan kartu debit dan kredit," tulis USTR dikutip Liputan6.com, Senin (21/4/2025).

Selain itu, melalui Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 mewajibkan perusahaan asing untuk membentuk perjanjian kemitraan dengan lembaga switching GPN yang memiliki izin di Indonesia agar dapat memproses transaksi ritel domestik melalui GPN.

"BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan persetujuan diberikan dengan syarat perusahaan asing tersebut mendukung pengembangan industri domestik, termasuk melalui alih teknologi," tulis USTR.

Batas Kepemilikan Asing

Tak berhenti disitu saja, USTR juga menyoroti terkait Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020, yang berlaku mulai Juli 2021. PBI ini diterbitkan untuk mengimplementasikan Cetak Biru Sistem Pembayaran 2025 dari BI. Peraturan ini menetapkan kategorisasi kegiatan sistem pembayaran berdasarkan risiko serta sistem perizinan.

Dalam Peraturan tersebut menetapkan batas kepemilikan asing sebesar 85 persen untuk operator layanan pembayaran non-bank, yang juga dikenal sebagai perusahaan pembayaran front-end, namun investor asing hanya dapat memiliki maksimal 49 persen saham dengan hak suara. Batas kepemilikan asing untuk operator infrastruktur sistem pembayaran, atau perusahaan back-end, tetap sebesar 20 persen.

"Para pemangku kepentingan menyatakan kekhawatirannya terkait kurangnya konsultasi dari BI sebelum penerbitan peraturan-peraturan tersebut," tulis USTR.

Read Entire Article
Bisnis | Football |