Real Madrid vs Marseille: Benturan Dua Dunia, Antara Royal Family dan Kelas Pekerja

3 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta Real Madrid akan membuka langkah mereka di Liga Champions 2025/2026 dengan menjamu Olympique de Marseille di Santiago Bernabeu, Rabu (17/9) dini hari WIB. Sekilas, laga ini 'hanya' tentang duel sepak bola biasa.

Namun, jika ditarik ke belakang, pertemuan dua klub ini juga menjadi pertemuan dua dunia: yang satu lahir dan besar sebagai representasi kerajaan, yang lain tumbuh dengan identitas kuat sebagai suara kelas pekerja.

Real Madrid tidak pernah bisa dilepaskan dari kata royal. Tahun 1920, Raja Alfonso XIII memberi izin kepada Madrid FC untuk menyandang gelar “Real” sekaligus menambahkan mahkota kerajaan di lambangnya.

Gelar ini bukan sekadar simbol, melainkan penegasan bahwa klub tersebut adalah representasi kerajaan Spanyol.

Namun perjalanan politik di negeri Matador membuat Real Madrid sempat kehilangan mahkota itu. Pada masa Republik Spanyol (1931–1939), simbol kerajaan dihapus, bahkan nama "Real" pun ditanggalkan.

Barulah pada era diktator Francisco Franco, tahun 1941, Madrid kembali memakai identitas "Real" berikut mahkotanya. Sejak saat itu, Real Madrid bukan hanya simbol kerajaan, tetapi juga cermin kekuatan politik dan sosial Spanyol.

Marseille, Anak Kota Pelabuhan

Jika Madrid adalah cermin istana, maka Marseille adalah wajah pelabuhan. Klub yang lahir pada 31 Agustus 1899 dari tangan Rene Dufaure de Montmirail ini sejak awal menjadi representasi kota Marseille, sebuah kota kosmopolitan dengan sejarah panjang sebagai pusat perdagangan, imigrasi, dan kelas pekerja.

Olympique de Marseille adalah klub yang identitasnya lekat dengan rakyat. Stadion Velodrome, yang disebut sebagai “le temple” (kuil), menjadi ruang perayaan bersama ribuan warga Marseille. Di sana, perbedaan latar belakang, profesi, hingga status sosial larut dalam 90 menit penuh nyanyian dan tifosi kreatif.

Momen paling ikonik dalam sejarah OM tentu terjadi pada 26 Mei 1993. Saat itu, Marseille mengalahkan AC Milan di final Liga Champions lewat gol Basile Boli. Kemenangan itu bukan hanya soal trofi, melainkan sebuah simbol kebanggaan kota.

Marseille menjadi klub Prancis pertama yang menjuarai Liga Champions, lahirlah ungkapan abadi: A jamais les premiers (Selamanya yang pertama).

Bagi warga Marseille, OM bukan sekadar klub. Ia adalah sahabat, saudara, bahkan bagian dari identitas kota. Tak heran muncul ungkapan “L'OM c'est nous” (OM adalah kita), yang menggambarkan betapa klub ini sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat kelas pekerja di Marseille.

Dua Identitas, Satu Panggung di Liga Champions

Menariknya, rivalitas identitas ini tidak hanya berhenti di level lokal. Marseille kerap dipandang sebagai antitesis Paris Saint-Germain, klub ibu kota yang identik dengan kalangan elite dan borjuis. Marseille menjadi simbol perlawanan kaum pekerja, sementara PSG melambangkan pusat kekuasaan dan kemewahan.

Kini, ketika OM harus bertamu ke markas Real Madrid, benturan narasi terasa begitu kuat. Di satu sisi, Bernabeu menyambut sebagai kandang klub yang membawa mahkota kerajaan. Di sisi lain, hadir Marseille, klub rakyat dari kota pelabuhan yang tak pernah kehilangan jiwa kelas pekerjanya.

Apakah sejarah dan identitas ini akan berpengaruh di atas lapangan? Mungkin tidak secara langsung. Namun, kisah di balik dua klub ini membuat duel Madrid vs Marseille tak hanya layak dinikmati dari sisi teknis sepak bola, tetapi juga dari sisi budaya dan sejarah.

Klasemen Liga Champions 2025/2026

Read Entire Article
Bisnis | Football |