Siap-siap, Harga Boneka Barbie Bakal Naik

3 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan yang memproduksi mainan Barbie, Mattel,berencana untuk menaikkan harga karena tarif yang mendorong kenaikan biaya produksi.

Mattel akan menaikkan harga untuk beberapa produk di Amerika Serikat (AS) untuk mengimbangi biaya produksi yang lebih tinggi karena tarif besar-besaran pemerintahan DOnald Trump pada mitra dagang utama.

Mengutip CNBC, Selasa (6/5/2025), saham perusahaan mainan Barbie ini turun sekitar 2% dalam perdagangan kemarin. Saham itu telah turun sekitar 8% sepanjang tahun ini.

"Mengingat lingkungan ekonomi makro yang tidak stabil dan lanskap tarif AS yang terus berkembang, sulit untuk memprediksi pengeluaran konsumen dan penjualan Mattel di AS pada sisa tahun ini dan musim liburan," kata pembuat mainan itu.

Perang tarif antara AS dan China sangat membebani perusahaan. Dua negara dengan ekonomi terbesar dunia itu telah menaikkan pungutan atas barang satu sama lain hingga lebih dari 100% sejak Presiden Donald Trump menjabat awal tahun ini. Perang dagang ini telah mengganggu rantai pasokan global.

"Tidak diragukan lagi bahwa tarif tersebut menciptakan gangguan dalam industri. Banyak perusahaan telah menghentikan produksi dan pengiriman ke AS sebagai akibat dari tarif dari Tiongkok. Kami mendukung advokasi Asosiasi Mainan untuk tarif nol pada mainan," kata CEO Mattel Ynon Kreiz dalam sebuah wawancara.

AS mewakili sekitar setengah dari penjualan mainan global Mattel, dan perusahaan tersebut mengimpor sekitar 20% barangnya yang dijual di negara tersebut dari China.

Perusahaan tersebut mengatakan akan memangkas promosi dan diskon untuk menghemat biaya. Perusahaan tersebut meningkatkan target penghematan biaya untuk tahun ini menjadi USD 80 juta dari USD 60 juta.

Selain China, Mattel mengimpor produk seperti boneka Barbie dan mainan Hot Wheels dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand, yang juga terkena tarif timbal balik dari pemerintahan Trump pada awal April sebelum dihentikan selama 90 hari.

Perusahaan sebelumnya menargetkan laba per saham yang disesuaikan pada 2025 antara USD 1,66 dan USD 1,72 dan pertumbuhan penjualan bersih tahunan sebesar 2% hingga 3%.

Dari Barbie hingga Hot Wheels, Ekspor Mainan RI Masuk Radar Tarif AS

 Kunjungan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ke Washington, Amerika Serikat, dalam rangka pembahasan kebijakan tarif resiprokal, membawa sejumlah fakta menarik terkait hubungan dagang antara Indonesia dan AS.

Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kebijakan tarif resiprokal yang tengah dibahas berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap sejumlah komoditas ekspor Indonesia, khususnya di sektor mainan anak-anak.

 “Tahu Barbie kan ya? Barbie bukan yang film, tapi Barbie boneka. Barbie boneka itu mayoritas bikinan dari kita (Indonesia). Saat pertemuan dengan US Treasury, muncul pembicaraan soal Barbie. Karena AS impor Barbie (dari Indonesia), dan produsen terbesar Barbie memang dari Indonesia,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita di Jakarta, Rabu (30/4/2025).

Lebih lanjut, kata Bendahara negara ini, selain Barbie, produk mainan kedua yang akan mengalami dampak adalah Hot Wheels.

“Mungkin buat anda semua kelihatannya nggak penting. Tapi buat Amerika ini penting, karena enam bulan lagi mereka akan Christmas, akan Black Friday. Dan setiap nenek-nenek seperti saya akan beli hadiah untuk cucunya. Dengan adanya retaliasi tarif maka akan memengaruhi harga toys juga,” ujarnya.

Sebagai informasi, Indonesia merupakan rumah bagi pabrik boneka Barbie terbesar di dunia, yaitu PT Mattel Indonesia (PTMI) yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat.

Pada tahun 2021, PTMI memproduksi sekitar 85 juta boneka dan aksesori. Perusahaan ini juga telah meresmikan fasilitas molding baru pada tahun 2022 untuk mendukung peningkatan kapasitas produksi.

AS Ngaku Terzolimi

Sri Mulyani, mengungkapkan dinamika menarik dalam pertemuan musim semi (Spring Meeting) di Washington, D.C., baru-baru ini.

Dalam forum tersebut, pernyataan dari Amerika Serikat menjadi sorotan utama, yakni bahwa negara adidaya itu merasa telah diperlakukan tidak adil oleh sistem global yang selama ini justru kerap dikritik oleh negara-negara berkembang.

"Jadi, di Washington kemarin headline dan topik paling menonjol adalah statement Amerika bahwa mereka merasa dizolimi oleh sistem global," kata Menkeu dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (30/4/2025).

Padahal, menurut Sri Mulyani, selama ini yang banyak merasa dizolimi oleh globalisasi adalah negara-negara berkembang. Tapi sekarang, justru Amerika yang menyatakan bahwa mereka 'diperlakukan tidak adil'. Ini tentu menarik dan menunjukkan bahwa sistem global sedang mengalami guncangan besar.

"Karena ternyata yang terzolimi tidak hanya negara berkembang tapi negara paling kuat dan paling besar ekonominya di dunia merasa bahwa the global system is unfair," uajrnya.

Menurutnya, pernyataan ini menjadi kejutan karena datang dari negara dengan ekonomi terbesar di dunia, yang selama ini dianggap sebagai pihak yang paling diuntungkan dari sistem global yang ada.

Adapun ketidakadilan dan ketidakseimbangan menjadi sorotan utama dalam forum tersebut. Sorotan kedua adalah mengenai ketidakseimbangan (imbalances) dalam sistem perdagangan dan ekonomi dunia.

Read Entire Article
Bisnis | Football |