Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tembus 5 persen pada 2025 ini. Meski proyeksi pertumbuhan ekonomi global sedang dilanda ketidakpastian.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan tetap akan mencapai sekitar 5 persen," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) secara virtual, Kamis (24/4/2025).
Dia turut menjelaskan sejumlah faktor yang bisa menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Diantaranya, konsumsi rumah tangga yang didukung oleh belanja pemerintah, terutama dalam bentuk pembayaran tunjangan hari raya (THR).
Kemudian, belanja sosial dan berbagai insentif lain yang diberikan menjelang atau pada bulan pertama hingga bulan ketiga tahun 2025 dan menjelang Idul Fitri 1445 hijriyah.
Selain itu keberlanjutan dari proyek-proyek strategis nasional di berbagai wilayah dan meningkatnya konstruksi properti swasta diperkirakan meningkatkan kinerja investasi. Berikutnya, investasi swasta dipandang masih baik didukung oleh keyakinan produsen yang terlihat pada aktivitas manufaktur Indonesia yang masih pada zona ekspansif.
"Investasi khususnya non-bangunan tetap menopang pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari meningkatnya import barang modal terutama import alat-alat berat," tuturnya.
Selanjutnya, kinerja ekspor diperkirakan juga tetap baik didukung oleh ekspor non-migas yang meningkat pada Maret 2025. Terutama komoditas CPO, besi dan baja serta mesin dan peralatan elektrik.
"Pemerintah juga aktif menjajaki potensi perluasan ekspor produk-produk unggulan di pasar ASEAN plus 3, BRICS dan di Eropa di tengah kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat," terang dia.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun tahun ini. Namun, penurunannya tidak lebih besar dibandingkan dengan negara Vietnam, Thailand, hingga Meksiko.
Dia mengacu pada proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dirilis IMF dalam World Economic Outlook (WEO) pada April 2025 ini. Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi ini disebabkan oleh memanasnya perang tarif antara Amerika Serikat dan China.
Dia mengungkapkan, ekonomi Indonesia diproyeksi hanya tumbuh 4,7 persen pada 2025 ini. Angka itu lebih rendah 0,4 persen dari prediksi sebelumnya atau sebesar 5,1 persen.
"Indonesia juga mengalami koreksi dari outlook pertumbuhan menurut IMF di tahun 2025 ini menjadi 4,7 persen, artinya (ada) koreksi sebesar 0,4 percentage point," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) secara virtual, Kamis (24/4/2025).
Lebih Baik dari Vietnam-Meksiko
Dia menuturkan, IMF juga mencatat penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada beberapa negara lain. Diantaranya, Thailand yang terkoreksi 1,2 persen, Filipina 0,6 persen, Vietnam 0,9 persen, dan Meksiko 1,7 persen.
Bendahara Negara itu menyimpulkan kalau penurunan yang dialami Indonesia jauh lebih kecil dari negara-negara tersebut. Mengingat lagi, Thailand, Vietnam, hingga Meksiko punya porsi perdagangan lebih besar terhadap Amerika Serikat.
"Koreksi ini (pertumbuhan ekonomi Indonesia), lebih rendah dibandingkan koreksi terhadap negara-negara yang tadi telah saya sampaikan dimana eksposur dari perdagangan eksternal mereka lebih besar dan dampak atau hubungan dari perekonomian mereka terhadap Amerika Serikat juga lebih besar," tuturnya.
Dipicu Perang Tarif AS-China
Sri Mulyani menjelaskan, IMF juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global ke angka 2,8 persen di 2025 dan 3 persen pada 2026. Angka itu turun 0,5 persen untuk 2025 dan 0,3 persen untuk 2026 pada proyeksi sebelumnya.
Penyebabnya adalah perang tarif atas kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Kenaikan tarif impor ke AS memicu retaliasi dari negara mitra dagangnya, termasuk China yang melakukan balasan.
"Penurunan (proyeksi pertumbuhan ekonomi) ini dipicu oleh dampak langsung dari eskalasi perang tarif. Jadi kenaikan tarif Amerika Serikat yang menimbulkan retaliasi atau penurunan aktivitas perdagangan antar negara dan itu merupakan dampak langsung," kata dia.
"Namun, kebijakan dari pengenaan tarif oleh Amerika Serikat yang disebut resiprokal juga menimbulkan dampak tidak langsung, yaitu dalam bentuk disrupsi rantai pasok, ketidakpastian di dalam perdagangan dan investasi, dan memburuknya sentimen dari pelaku usaha terhadap prospek ekonomi," sambung Sri Mulyani.