Liputan6.com, Jakarta Harga konsumen di China alami kenaikan paling lambat dalam empat bulan terakhir untuk periode Oktober 2024.
Dilansir dari CNBC pada Senin (11/11/2024) meskipun sudah ada sejumlah stimulus ekonomi. Di saat yang sama, harga di tingkat produsen juga mengalami deflasi lebih dalam.
Data ini menunjukkan bahwa, walaupun Beijing telah meningkatkan stimulus untuk menghidupkan kembali ekonominya yang melambat, tetapi belum ada dampak yang dirasakan.
Pada hari Jumat lalu, Lembaga legislatif tertinggi China telah menyetujui paket senilai 10 triliun yuan (sekitar USD 1,4 triliun). Namun, dana ini lebih ditujukan untuk mengurangi "utang tersembunyi" pemerintah daerah, dibandingkan menyuntikkan uang langsung ke dalam perekonomian.
Beberapa investor sebenarnya mengharapkan langkah ini sebagai stimulus besar untuk mendukung ekonomi tetapi analis memperkirakan bahwa paket ini mungkin tidak akan berdampak signifikan dalam waktu dekat.
Menurut survei ekonom, Consumer Price Index (CPI) pada Oktober hanya naik 0,3% dibandingkan tahun lalu, turun dari kenaikan 0,4% pada September. Ini menjadi kenaikan terendah sejak Juni dan juga di bawah perkiraan kenaikan sebesar 0,4%.
Inflasi inti yang tidak termasuk harga pangan dan bahan bakar naik 0,2% pada Oktober, jumlah ini sedikit lebih tinggi dibandingkan 0,1% di bulan sebelumnya.
“Karena adanya libur Golden Week pada Oktober, dampak dari kebijakan stimulus untuk mendorong permintaan dalam negeri belum terlihat secara jelas,” kata kepala ekonom di JLL, Bruce Pang, Dia memperkirakan CPI akan tetap menunjukkan tren kenaikan, meskipun inflasi inti masih rendah. Kondisi ini membuka peluang bagi pemerintah untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut awal tahun depan.
Pemulihan Ekonomi China Terancam Tarif Impor AS
berupaya perbaiki ekonomi yang lesu dengan rencana baru yang diharapkan segera diumumkan oleh National People’s Congress (NPC), badan eksekutif legislatif China.
Dikutip dari BBC pada Jumat (08/11/2024) Kembali terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS untuk periode kedua ini dapat menggagalkan upaya tersebut. Trump telah menyatakan niatnya untuk kembali mengenakan tarif tinggi pada barang-barang impor dari China, termasuk tarif hingga 60%.
Hal ini berpotensi merusak rencana Presiden Xi Jinping untuk menjadikan China sebagai kekuatan teknologi global dan semakin memperburuk hubungan ekonomi antara dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
China kini tengah menghadapi berbagai tantangan ekonomi, seperti penurunan pasar properti, utang pemerintah yang meningkat, pengangguran yang tinggi, serta rendahnya tingkat konsumsi. Setelah sempat menerapkan pembatasan ketat selama pandemi, ekonomi China kini kesulitan untuk pulih ke tingkat pertumbuhan seperti sebelum pandemi.
Bahkan International Monetary Fund (IMF) menurunkan perkiraan pertumbuhan tahunan China menjadi 4,8% untuk tahun 2024, di bawah target Beijing yang sebesar “sekitar 5%”. Tahun berikutnya, IMF memperkirakan pertumbuhan China akan turun lagi menjadi 4,5%.
Menurut Xi Jinping, perubahan ini adalah bagian dari rencana jangka panjang untuk meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi. “Kami beralih dari pertumbuhan cepat ke pembangunan berkualitas tinggi,” ujarnya pada tahun 2017.
China Andalkan Ekspor untuk Perbaiki Ekonomi
Beberapa ekonom berpendapat bahwa China tidak bisa terus mengandalkan ekspor untuk memperbaiki ekonomi. Stephen Roach, mantan ketua Morgan Stanley Asia, mengatakan bahwa China perlu lebih fokus pada “permintaan konsumen yang belum dimanfaatkan” untuk mencapai pertumbuhan yang lebih stabil dan mengurangi ketergantungan pada ekspor dan investasi. Dengan demikian, China dapat mengurangi risiko stagnasi ekonomi seperti yang dialami Jepang pada tahun 1990-an.
Meski begitu, China masih kuat dalam industri manufaktur teknologi tinggi. Negara ini sudah memimpin dunia dalam produksi panel surya, kendaraan listrik, dan baterai lithium-ion.
Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), China kini memproduksi sekitar 80% dari panel surya dunia. China juga merupakan produsen kendaraan listrik dan baterai terbesar. Tahun lalu, IEA menyatakan bahwa investasi China dalam energi ramah lingkungan mencapai sepertiga dari total investasi dunia, menunjukkan kemajuan signifikan dalam kapasitas energi terbarukan.
Seorang peneliti di Chatham House, David Lubin, mengatakan bahwa “ada upaya menyeluruh untuk mendukung manufaktur berteknologi tinggi di China.” Ekspor kendaraan listrik, baterai lithium-ion, dan panel surya China naik 30% pada tahun 2023, melampaui satu triliun yuan atau sekitar USD 139 miliar.