Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati angkat bicara mengenai alasan di balik perubahan struktur organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan.
Perubahan ini mencakup penghapusan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang kini akan beralih menjadi Direktorat Jenderal. Langkah tersebut merupakan amanat dari Presiden Prabowo Subianto.
Sri Mulyani mengungkapkan keputusan tersebut didasarkan pada arahan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB).
Menurut Kementerian PANRB, nomenklatur badan tidak seharusnya membuat kebijakan, melainkan hanya bersifat analitis. Namun, dalam praktiknya, Kepala BKF Febrio Kacaribu telah banyak merumuskan kebijakan.
"Kenapa diubah? Karena menurut Kementerian PANRB, nomenklatur badan itu tidak membuat kebijakan, padahal Pak Febrio membuat banyak sekali kebijakan. Maka, diubah menjadi Ditjen," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Jakarta, Jumat (8/11).
Sri Mulyani menambahkan perubahan ini bertujuan untuk memperkuat peran Kementerian Keuangan dalam menjaga stabilitas serta pengembangan sektor keuangan.
Langkah ini penting agar Kementerian dapat lebih efektif dalam berkolaborasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), serta dalam pelaksanaan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
"Peranan kita menjadi lebih kritikal dan oleh karena itu perlu dielevasi menjadi Direktorat Jenderal yang selama ini dipegang staf ahli yang biasanya tidak memiliki struktur," tambahnya.
Perubahan lainnya adalah penguatan peran badan teknologi informasi dan intelijen keuangan. Selama ini, Kemenkeu memiliki Central Transformation Office yang bertanggung jawab atas pengelolaan teknologi digital.
Badan Khusus
Dengan perubahan ini, peran tersebut diperkuat menjadi badan khusus untuk mendukung infrastruktur digital Kementerian Keuangan.
Selain itu, Bendahara Negara ini menegaskan transformasi ini juga bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas intelijen data analitik dan pengembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Dimana, intelijen keuangan tidak hanya terkait perangkat keras, tetapi juga software, dan terutama kemampuan analitik data untuk mendukung pengambilan kebijakan yang lebih akurat.
"Di dalam rangka kita untuk memperkuat keseluruhan infrastruktur digital di Kementerian Keuangan dan juga mengantisipasi semakin digitalisasi seluruh dunia dan seluruh perekonomian," pungkasnya.
Reporter: Siti Ayu Rachma
Sumber: Merdeka.com
Penerimaan Pajak Sentuh Rp 1.517 Triliun hingga Oktober 2024
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengantongi Rp 1.517 triliun penerimaan pajak hingga bulan Oktober 2024.
Angka tersebut setara 76,3 persen dari target APBN 2024 sebesar Rp.1.989 triliun.
“Dari sisi perpajakan Anda lihat (mencapai) Rp 1.517,53, itu 76,3 persen dari target. Yang cukup menggembirakan adalah bahwa kondisi perbaikan ini sudah terjadi dalam dua bulan terakhir dan Alhamdulillah ini berlanjut di bulan Oktober,” kata Wakil Menteri Keuangan III, Anggito Abimanyu dalam konferensi pers APBN KiTa, di Kantor Kemenkeu pada Jumat (8/11/2024).
Anggito menjelaskan, tumbuhnya penerimaan pajak ditopang oleh kinerja positif PBB dan pajak lainnya yang tumbuh 12,81 persen.
Selanjutnya, realisasi PBB dan pajak lainnya pada Oktober 2024 mencapai Rp 32,65 triliun atau 88,52 persen dari target.
Kemudian, PPN dan PPnBM tumbuh 7,87 persen menjadi Rp 620,42 triliun. Angka itu setara 76,47 persen dari target penerimaan 2024.
“Pertumbuhan PPN dan PPnBM yang baik sejalan dengan terjaganya konsumsi baik dari domestik maupun impor,” jelas Anggito.
Penerimaan PPh Nonmigas Terkontraksi
Sementara itu, terjadi kontraksi pada penerimaan bruto kelompok PPh Nonmigas.
Kemenkeu mencatat, pada Oktober 2024 kelompok PPh Nonmigas turun 0,34 persen menjadi Rp 810,76 triliun atau 76,24 persen dari target 2024.
“Kalau Anda lihat di sisi PPH Non-Migas itu memang turun ya, 0,34 tetapi itu adalah kumulatif Januari-Oktober. Jadi kalau month to month-nya positif, tapi kalau year to date memang masih merah PPH Nonmigasnya,” papar Anggito.
Kontraksi juga terjadi pada kelompok PPh Migas. Penurunan ini akibat penurunan lifting minyak bumi. Realisasi PPh Migas turun 8,97 persen menjadi Rp.53,70 triliun atau 70,31 persen dari target tahun ini.