Liputan6.com, Jakarta - Perekonomian China tumbuh pada kuartal ketiga dengan laju paling lambat sejak awal tahun lalu, lantaran negara itu sedang berjuang untuk meningkatkan pertumbuhan yang melambat.
Menurut Biro Statistik Nasional China, secara tahunan, produk domestik bruto (PDB) naik sebesar 4,6% dalam tiga bulan hingga akhir September. Angka tersebut lebih rendah dari kuartal sebelumnya dan di bawah target pemerintah "sekitar 5%" untuk tahun ini. Dilansir dari BBC pada Jumat (18/10/2024).
Namun, angka tersebut terlihat sedikit lebih baik dari yang diperkirakan analis, sementara angka resmi lainnya yang dirilis pada Jumat, termasuk penjualan ritel dan produksi pabrik, juga telah melampaui perkiraan.
Dalam beberapa minggu terakhir, Beijing telah mengumumkan sejumlah langkah yang bertujuan untuk mendukung pertumbuhan. Ini adalah kuartal kedua berturut-turut di mana ukuran resmi pertumbuhan ekonomi China turun di bawah target 5%, yang akan menambah kekhawatiran pemerintah.
"Target pertumbuhan pemerintah untuk tahun ini kini tampak terancam serius," mantan kepala divisi International Monetary Fund's (IMF), Eswar Prasad mengatakan kepada BBC News.
"Diperlukan dorongan substansial yang didorong oleh stimulus untuk pertumbuhan pada kuartal keempat agar dapat mencapai target."
Namun, ekonom Moody's Analytics, Harry Murphy Cruise, merasa lebih optimistis. Langkah-langkah stimulus "kemungkinan akan mendorong ekonomi ke target sekitar 5% untuk tahun ini", kata dia.
"Namun, diperlukan lebih banyak lagi jika para pejabat ingin mengatasi tantangan struktural dalam ekonomi."
Angka resmi juga menunjukkan harga rumah baru turun pada September dengan laju tercepat dalam hampir satu dekade, yang menunjukkan penurunan di sektor properti semakin memburuk.
Ekonomi China Diramal Tak Bakal Cerah Tahun Depan
Bank Dunia memperkirakan ekonomi China akan terus menurun hingga 2025, meski ada dorongan sementara dari langkah-langkah stimulus baru-baru ini.
Melansir CNBC International, Kamis (10/10/2024) Bank Dunia memperkirakan bahwa tingkat pertumbuhan China akan turun menjadi 4,3% tahun depan, turun dari 4,8% yang diproyeksikan untuk tahun 2024.
Proyeksi tahun 2024 naik 0,3% dari perkiraan Bank Dunia pada bulan April dan muncul setelah China meluncurkan serangkaian langkah-langkah stimulus baru-baru ini, meningkatkan kepercayaan investor dan mendorong reli pasar saham, yang sejak itu gagal.
Namun, terlepas dari langkah-langkah tersebut, yang sebagian besar difokuskan pada kebijakan moneter, proyeksi pertumbuhan Bank Dunia tahun 2025 tidak berubah dari proyeksi sebelumnya.
Kepala ekonom Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia, Aaditya Mattoo mengatakan dimensi fiskal dari langkah-langkah stimulus ekonomi China masih belum terdefinisi, sehingga memperumit proyeksi.
“Pertanyaannya adalah apakah (stimulus) benar-benar dapat mengimbangi kekhawatiran konsumen tentang penurunan gaji, kekhawatiran tentang penurunan pendapatan properti, dan ketakutan jatuh sakit, menjadi tua, menjadi pengangguran,” kata Mattoo.
Pemberi pinjaman internasional tersebut mengaitkan lemahnya belanja konsumen China dengan banyaknya kekhawatiran, di samping tantangan seperti pelemahan pasar properti yang terus-menerus, populasi yang menua, dan meningkatnya ketegangan global.
Bank Dunia sebelumnya telah menganjurkan China untuk meningkatkan pertumbuhannya melalui tindakan kebijakan yang berani seperti melepaskan persaingan, meningkatkan infrastruktur, dan mereformasi pendidikan.
Namun menurut Mattoo, stimulus tersebut bukanlah pengganti reformasi struktural yang lebih mendalam yang akan dibutuhkan China untuk meningkatkan pertumbuhan jangka panjang.
Namun, setiap dorongan dari langkah-langkah stimulus akan disambut baik oleh seluruh kawasan, yang masih sangat bergantung pada China untuk pertumbuhan, tambahnya.
Bank Dunia Ramal Ekonomi Asia-Pasifik Tumbuh 4,9% pada 2025
Bank Dunia memperkirakan bahwa seluruh kawasan Asia Timur dan Pasifik akan tumbuh sebesar 4,7% tahun ini dan naik menjadi 4,9% tahun depan di tengah pemulihan ekspor yang diharapkan dan kondisi keuangan yang lebih baik.
Meskipun demikian, kawasan tersebut perlu menemukan lebih banyak pendorong pertumbuhan domestik karena perlambatan ekonomi China.
"Selama tiga dekade, pertumbuhan ekonomi China telah memberikan dampak positif bagi negara-negara tetangganya, tetapi besarnya dorongan tersebut kini mulai berkurang," kata Bank Dunia dalam laporannya pada hari Selasa.
Bos BI Buka-bukaan Penyebab Ekonomi China Anjlok
Sebelumnya, Ekonomi China terus mengalami tekanan dan gagal mencapai target. Bahkan ekonomi China terus kempes meskipun sudah mengeluarkan berbagai kebijakan pelonggaran.
Biro Statistik Nasional China mengumumkan, ekonomi negara tersebut tumbuh sebesar 4,7 persen pada kuartal-II 2024. Angka ini meleset jauh dari ekspektasi pasar sebesar 5,1 persen.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, ekonomi China melemah dipengaruhi oleh terus melemahnya permintaan domestik. Kondisi ini diperparah oleh kinerja properti yang masih belum menggembirakan hingga memasuki pertengahan 2024.
"Ekonomi Tiongkok belum kuat dipengaruhi lemahnya permintaan domestik," kata dia dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli 2024 di Kantor Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi AS justru membukukan tren positif ditopang oleh sektor konsumsi dan stimulus fiskal. Bahkan, Inflasi AS pada bulan Juni 2024 lebih rendah dari prakiraan yang dipengaruhi oleh inflasi energi dan perumahan yang menurun.
Hal ini mendorong prakiraan penurunan suku bunga kebijakan AS (Fed Funds Rate/FFR) dapat lebih cepat dari proyeksi sebelumnya pada akhir tahun 2024. Meskipun, imbal hasil atau yield US Treasury 10 tahun yang tetap tinggi karena kebutuhan defisit anggaran Pemerintah AS.
Dengan perkembangan tersebut, ekonomi global pada 2024 diprakirakan tumbuh sebesar 3,2 persen. Proyeksi ini ditopang tren perbaikan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa.
"Ekonomi Eropa diprakirakan tumbuh lebih tinggi didorong oleh perbaikan ekspor dan investasi," ucap dia.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com