Tekanan Tarif dari AS Meningkat, Indonesia Perlu Serius Diversifikasi Pasar Ekspor

12 hours ago 2

Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan tarif yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap produk ekspor unggulan Indonesia menjadi sinyal kuat bahwa ketergantungan pada satu pasar besar menyimpan risiko. Pemerintah pun didorong untuk mempercepat strategi diversifikasi pasar ekspor sebagai langkah jangka panjang yang lebih berkelanjutan.

Meski tarif ekspor Indonesia ke AS secara umum turun dari 32% menjadi 19%, sejumlah produk terkena lonjakan signifikan. Misalnya, tarif pakaian rajutan naik dari 14,73% menjadi 33,73%, alas kaki dari 11,4% menjadi 30,4%, lemak nabati dari 0,12% menjadi 19,12%, serta mesin listrik yang sebelumnya bebas tarif kini dikenakan 19%.

Sementara itu, produk-produk AS bisa masuk ke pasar Indonesia tanpa bea masuk. Ketimpangan ini memperbesar tantangan bagi pelaku usaha domestik, terutama yang mengandalkan pasar AS sebagai tujuan utama ekspor.

Diversifikasi Jadi Strategi Realistis

“Memperkuat diversifikasi pasar dapat menjadi pilihan yang realistis untuk memperluas pangsa pasar produk Indonesia. Selain itu, kita dapat mengurangi ketergantungan terhadap satu pasar dan membuka peluang baru di pasar berbeda,” ujar peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran dalam keterangan tertulis, Rabu (23/7/2025).

Data World Integrated Trade Solutions (WITS) menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke AS selama ini didominasi oleh produk bernilai tambah tinggi seperti mesin dan peralatan listrik (USD 4,63 miliar), lemak dan minyak nabati (USD 2,31 miliar), alas kaki (USD 2,23 miliar), pakaian rajutan (USD 2,18 miliar), pakaian bukan rajutan (USD 2,16 miliar), dan produk karet (USD 1,99 miliar).

Namun, Hasran menilai potensi produk-produk ini tidak hanya terbatas di pasar AS. Permintaan serupa juga tinggi di Eropa. Apalagi, Indonesia telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA) yang diharapkan mulai berlaku penuh pada 2027.

“Persiapan ke arah sana harus dimulai sejak sekarang,” tambahnya.

Peluang dari OECD dan Kawasan RCEP

Selain ke Eropa, peluang lain datang dari aspirasi Indonesia untuk bergabung dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Keanggotaan ini dapat membantu Indonesia menyesuaikan regulasi nasional, mengurangi hambatan non-tarif, dan memenuhi standar keberlanjutan lingkungan—faktor penting untuk mengakses pasar negara-negara maju.

Namun, ekspor Indonesia ke negara-negara OECD justru menunjukkan tren penurunan. Struktur ekspor masih didominasi sektor ekstraktif seperti energi dan mineral. Sementara sektor non-ekstraktif, seperti manufaktur tekstil dan alas kaki, belum menunjukkan pertumbuhan signifikan. Tingginya persaingan dan tuntutan efisiensi produksi di pasar Eropa menjadi salah satu hambatan.

“Keberlanjutan masih menjadi sesuatu yang harus dipenuhi oleh Indonesia sebagai salah satu persyaratan untuk memasuki pasar Eropa,” jelas Hasran.

“Hal ini bagus untuk mendorong kepercayaan dan menjaga kualitas produk kita.”

Sementara itu, kerja sama bilateral Indonesia dengan Kanada melalui ICA–CEPA serta permintaan tinggi dari Meksiko juga dapat dimaksimalkan, terutama untuk produk seperti karet dan furnitur.

Negara-negara mitra dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan sesama anggota ASEAN juga memiliki potensi besar sebagai pasar alternatif.

“Kawasan RCEP dan ASEAN dapat memfasilitasi berkembangnya sistem perdagangan yang memanfaatkan rantai nilai regional,” ujar Hasran. “Kerja sama multilateral seperti ini adalah peluang yang sangat baik bagi Indonesia untuk mendorong pengembangan industri manufakturnya.”

Pemanfaatan FTA Masih Rendah

Sayangnya, pemanfaatan fasilitas perdagangan bebas di kalangan pelaku usaha Indonesia masih tergolong rendah. Studi CIPS tahun 2023 mencatat bahwa tingkat penggunaan FTA untuk ekspor di kawasan ASEAN baru berkisar 25,6% hingga 51,5%. Indonesia termasuk yang terendah.

Banyak eksportir belum optimal memanfaatkan tarif preferensial atau kemudahan dokumen seperti Surat Keterangan Asal (SKA) untuk menurunkan beban biaya ekspor.

Pemerintah dinilai perlu lebih aktif dalam menyosialisasikan manfaat FTA serta memberikan pendampingan teknis, termasuk melalui pusat ekspor dan dinas terkait. Hal ini penting agar pelaku usaha benar-benar siap memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh berbagai perjanjian dagang.

Transisi Perlu Didukung Pemerintah

Meski diversifikasi adalah langkah penting, implementasinya tak bisa instan. Menurut Hasran, butuh waktu 1–2 tahun bagi eksportir untuk membangun jaringan pembeli baru, menyesuaikan rantai pasok, serta memahami regulasi di negara tujuan.

Selama masa transisi ini, AS masih akan menjadi pasar utama ekspor Indonesia. Maka, dukungan pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sangat dibutuhkan—terutama dalam menekan biaya kepatuhan, mempermudah perizinan ekspor, serta meningkatkan efisiensi logistik dan layanan publik.

Penyederhanaan birokrasi dan penghapusan pungutan liar dinilai penting agar daya saing eksportir tetap terjaga di tengah tekanan tarif global yang makin kompleks.

Read Entire Article
Bisnis | Football |