Liputan6.com, Jakarta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tengah menjadi sorotan dalam beberapa waktu belakangan. Fenomena PHK ini menjadikan kondisi industri lokal dinilai tengah mengalami tantangan yang besar.
Beberapa perusahaan seperti Yamaha Music harus menutup produksinya di Jakarta dan Bekasi yang berdampak pada menganggurnya karyawan. Badai PHK juga mengancam para pekerja PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex.
Ekonom dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai bulan Ramadan menjadi peluang bagi perusahaan untuk meningkatkan kapasitas dan mendapatkan keuntungan. Namun, kondisi ekonomi tidak selalu berdampak baik ke perusahaan.
"Saat ini ekonomi melambat, daya beli melemah yang antara lain ditunjukkan dengan inflasi sangat rendah bahkan terjadi deflasi di tengah mulainya bulan Ramadan, sinyal daya beli turun," kata Eko kepada Liputan6.com, Senin (10/3/2025).
Belum Ada Tanda Perbaikan Ekonomi
Dia mengatakan, tanda membaiknya situasi ekonomi belum terlihat dalam jangka pendek ini. Menurutnya, tren PHK di paruh awal 2025 ini sebagai kelanjutan dari tahun lalu yang cenderung banyak PHK.
Eko menyampaikan, PHK di ramadan biasanya teejadi ketika perusahaan sudah terhimpit utang yang begitu menumpuk. Ditengah efisiensi, maka penghematan juga dirasa mutlak untuk dilakukan.
"Umumnya PHK di ramadan terjadi karena akumulasi himpitan utang dan berbagai efisiensi perusahaan sudah tdk bisa dilakukan, sehingga memutuskan PHK, ini juga untuk menghindari kewajiban bayar THR," tuturnya.
Curhatan Buruh
Kelompok buruh mengeluhkan praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi menjelang periode ramadan atau lebaran Idul Fitri. Ada dugaan PHK itu sengaja dilakukan untuk melepas kewajiban pembayaran tunjangan hari raya (THR) ke karyawan.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) Mirah Sumirat mengisahkan tren PHK massal sebetulnya dimulai sejak 2020 lalu. Kala itu, industri terdampak pandemi Covid-19. Mirah mencatat tren itu berlanjut hingga puncaknya di 2025 ini.
Di samping itu, khusus soal PHK saat mendekati ramadan itu jadi modus lama yang dilakukan oleh perusahaa. Termasuk dengan lebih dulu menghabiskan pekerja kontrak sebelumnya.
"Nah biasanya kalau yang dari dulu nih kalau dulu itu dia yang kontrak-kontrak yang dulu nih sebelumnya, tadi saya sampaikan gitu, yang kontrak-kontrak dihabisin gitu ya kalau menjelang kontrak diselesaikan di kontrak yang menjelang puasa di cut off gitu untuk menghindari pembayaran THR," ungkap Mirah kepada Liputan6.com, Senin (10/3/2025).
Modus lainnya yang ditemukan dia adalah pemilik modal menutup perusahaannya sekaligus merumahkan pegawainya. Kemudian, datang lagi dengan perusahaan baru dengan sistem kerja baru.
"Tapi nanti modelnya adalah outsourcing atau juga pekerja kontrak harian lepas gitu. Nah tren ini saya perhatikan dari tahun ke tahun dan itu susah menyampaikan kepada pemerintah," ungkapnya.
"Seharusnya pemerintah jeli gitu ya kayak gini-gini ini kan gak boleh lah ini kan cara-cara nakal gitu ya cara-cara curang gitu," tambah dia.
PHK Ilegal
Pandangan serupa disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengungkapkan banyak PHK yang dilakukan secara tidak adil.
Sederhananya, terkait pesangon hingga tunjangan yang seharusnya melekat dengan karyawan yang di PHK tadi.
"Praktik PHK ini kan mayoritas tidak adil misalnya di PHK gak dapat tunjangan atau dapat pesanggon dan dijanjikan akan dihitung untuk selanjutnya tapi kan itu belum dijelaskan kapan mereka bisa menerimanya gitu," kata dia kepada Liputan6.com.
Dia juga mencatat, ada PHK yang dilakukan dengan diskriminasi terhadap kelompok tertentu atau perempuan. Hal ini dipandang tidak adil oleh Elly.