Liputan6.com, Jakarta - China mempertahankan suku bunga acuan pinjaman pada Senin, 21 Juli 2025 di tengah bergulat dengan sentimen konsumen yang lemah dan pertumbuhan yang melambat.
Mengutip CNBC, Senin (21/7/2025), the People’s Bank of China atau Bank Sentral China mempertahankan suku bunga pinjaman 1 tahun di level 3,0% dan 5 tahun di posisi 3,5%.
Loan prime rate atau LPR yang biasanya dibebankan kepada nasabah terkait bank, dihitung berdasarkan survei terhadap puluhan bank komersial yang ditunjuk yang mengajukan usulan suku bunga kepada bank sentral.
LPR bertenor 1 tahun memengaruhi pinjaman korporasi dan sebagian besar pinjaman rumah tangga di China. Sedangkan LPR lima tahun berfungsi sebagai acuan untuk suku bunga hipotek.
Keputusan ini muncul setelah negara itu mengumumkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal kedua tumbuh 5,2% year on year (YoY), turun dari 5,4% pada kuartal pertama. Namun, angka ini lebih tinggi dari 5,1% yang diperkirakan oleh jajak pendapat ekonom Reuters.
Pertumbuhan penjualan ritel pada Juni juga melambat menjadi 4,8% dari tahun sebelumnya, dibandingkan dengan kenaikan 6,4% year on year pada Mei. Angka itu lebih rendah dari perkiraan 5,4% dari ekonom yang disurvei Reuters.
Setelah langkah tersebut the offshore yuan sebagian besar tetap stabil, diperdagangkan pada 7,179 terhadap dolar AS.
Kepada CNBC, Ekonom HSBC, Frederic Neumann menuturkan, saat ini terdapat sedikit urgensi Bank Sentral China untuk memangkas suku bunga, mengingat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) berada di atas target.
"Selain itu, dengan suku bunga yang relatif rendah, pelonggaran lebih lanjut mungkin kurang efektif dalam mendorong permintaan dibandingkan langkah-langkah fiskal,” kata Neumann.
Jurang Permintaan
PBOC mungkin juga ingin menyimpan beberapa cadangan kebijakan saat ini.
Ia mengatakan, hanya memangkas suku bunga saat dampak tarif AS terhadap ekspor China benar-benar mulai terasa. Meski demikian, PBOC dapat melonggarkan kebijakan lebih lanjut karena tekanan deflasi masih ada. “Sementara suku bunga riil tetap relatif tinggi,” ujar Neumann.
Analis dari Nomura menuturkan dalam catatan 9 Juli mengatakan meskipun indikator ekonomi saat ini masih kuat, fundamental ekonomi dapat memburuk secara nyata pada semester kedua 2025.
Analis mengatakan, permintaan dapat melemah jauh di berbagai aspek. Selain itu, aset juga dapat kembali tertekan dan suku bunga pasar dapat melemah lebih lanjut.
Oleh karena itu, analis menilai, Beijing kemungkinan besar akan segera meluncurkan putaran baru langkah-langkah dukungan di beberapa titik selama semester kedua 2025.
Nomura menuturkan, China hadapi jurang permintaan pada semester kedua 2025. Hal ini seiring beberapa faktor termasuk perlambatan ekspor akibat tarif Amerika Serikat dan penurunan penjualan di sektor properti utama.
“Di tengah faktor-faktor negatif ini, situasi fiskal di sebagian besar kota dapat semakin memburuk. Kami memperkirakan pertumbuhan PBD akan turun menjadi 4% YoY pada semester kedua dari sekitar 5,1% pada semester pertama,” demikian seperti dikutip.
Dihadang Tarif Impor AS, China Pede Pertumbuhan Ekonomi Tembus 5% pada 2025
Sebelumnya, pejabat pemerintah Tiongkok menunjukkan optimisme pada perekonomian negara mereka, meski dilanda serangkaian tarif impor tinggi oleh Amerika Serikat. Seperti diketahui, perang dagang AS-Tiongkok telah mengguncang pasar keuangan dan menimbulkan kekhawatiran akan resesi.
Mengutip The Daily Star, Selasa (29/4/2025) Wakil Kepala Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC), China, Zhao Chenxin mengatakan bahwa ia sangat optimis negara itu akan mencapai target pertumbuhan ekonomi 5 persen untuk tahun 2025.
"Pencapaian kuartal pertama telah meletakkan dasar yang kokoh bagi pembangunan ekonomi sepanjang tahun," kata Zhao.
“Tidak peduli bagaimana situasi internasional berubah, kami akan tetap berpegang pada tujuan pembangunan kami, mempertahankan fokus strategis, dan berkonsentrasi untuk melakukan hal kami sendiri,” ujarnya.
IM Revisi Pertumbuhan Ekonomi
Di sisi lain, keyakinan tersebut bertentangan dengan konsensus umum di antara para pengamat bahwa perang dagang yang meningkat dengan AS akan berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi di ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Baru-baru ini, Dana Moneter Internasional (IMF), Goldman Sachs, dan UBS merevisi turun perkiraan pertumbuhan ekonomi Tiongkok selama tahun 2025 dan hingga tahun 2026. Penurunan proyeksi seiring pengumuman tarif impor Trump.
Washington telah mengenakan tarif 145% pada sebagian besar barang Tiongkok. Langkah tersebut mendorong Beijing untuk membalas dengan pungutan 125% pada impor AS, yang secara efektif memberlakukan embargo perdagangan pada barang masing-masing.
Berbicara bersama Zhao, wakil gubernur Bank Rakyat Tiongkok, Zou Lan, mengatakan PBOC akan melakukan pemotongan lebih lanjut pada suku bunga dan jumlah yang harus disimpan bank-bank komersial sebagai cadangan, sambil menegaskan kembali komitmen untuk menjaga yuan tetap stabil.
PBOC terakhir kali memangkas suku bunga kebijakan utamanya pada September 2024, menurunkan suku bunga reverse repo 7 hari sebesar 20 basis poin.