Liputan6.com, Jakarta Dalam tiga musim terakhir, Inter Milan sukses mencetak prestasi membanggakan dengan dua kali melaju ke final Liga Champions. Namun, mimpi manis itu dua kali pula berubah jadi mimpi buruk di momen paling menentukan. Dua kekalahan di Istanbul dan Munich menjadi luka yang sulit sembuh.
Pada 2023, Inter takluk 0-1 dari Manchester City. Dua tahun berselang, di final 2025, mereka dihantam 0-5 oleh Paris Saint-Germain (PSG). Dua kekalahan itu mengingatkan bahwa berada di final belum tentu berarti sudah setara dengan para juara.
Dua lawan berbeda, dua cerita pahit yang serupa. Inter Milan selalu menjadi pihak yang tersakiti meski langkah menuju final mereka begitu meyakinkan.
Final Istanbul: Harapan yang Sirna di Ujung Jalan
Final Liga Champions 2023 menjadi panggung pertama Inter di partai puncak sejak era treble 2010. Saat itu, harapan membuncah tinggi. Mereka berambisi meraih trofi keempat Liga Champions mereka. Namun, semuanya sirna di tangan Manchester City.
Gol tunggal dari Rodri membuat anak-anak asuh Simone Inzaghi pulang dengan tangan hampa. Inter hanya bisa tersenyum getir dan menelan rasa kecewa yang mendalam meski musim itu menjuarai Supercoppa Italiana dan Coppa Italia.
Di sisi lain, Manchester City mencetak sejarah dengan trofi Liga Champions pertama mereka. Usai menjuarai Premier League dan FA Cup, kemenangan atas Inter di Ataturk Olympic Stadium menggenapkan treble perdana mereka.
Final Munich: Kekalahan yang Lebih Menyakitkan
Musim ini, Inter kembali menembus final. Setelah musim lalu disingkirkan Atletico Madrid di babak 16 besar, mereka bangkit dan melaju hingga ke partai puncak. Lawan mereka kali ini adalah PSG, tapi hasilnya bahkan lebih menyakitkan.
Inter tak hanya kalah, tetapi juga dibungkam tanpa mampu mencetak gol. PSG mencetak lima gol lewat Achraf Hakimi, Desire Doue (dua gol), Khvicha Kvaratskhelia, dan Senny Mayulu. Kekalahan telak ini tercipta di Allianz Arena, Munich, dan Inter mengakhiri musim tanpa trofi.
“Paris pantas menang di laga ini dan meraih trofi. Kami kecewa, tapi perjalanan menuju titik ini sangat luar biasa. Sebagai pelatih, saya bangga pada para pemain,” ujar Inzaghi usai pertandingan, seperti dikutip UEFA.com. Namun, dia juga mengakui, “Pertandingan ini tentu saja tidak cukup baik dari pihak kami.”
Inter: Dua Luka dari Dua Treble
Ironisnya, Inter dua kali menjadi saksi lahirnya treble perdana lawan mereka. Setelah City pada 2023, kini PSG mengikuti jejak yang sama. Klub Prancis itu menyempurnakan gelar Ligue 1 dan Coupe de France dengan trofi Liga Champions pertama mereka.
Kedua tim itu juga ditangani pelatih yang punya pengalaman meraih treble bersama Barcelona. Jika dulu ada Josep Guardiola, kini giliran Luis Enrique yang menjadi mimpi buruk bagi Inzaghi dan pasukannya.
Inter lagi-lagi pulang tanpa selebrasi. “Kami harus belajar dari kekalahan dan bangkit lebih kuat. Ini menyakitkan, seperti final di Istanbul. Paris selalu lebih cepat dalam merebut bola. Kami harusnya bisa bermain jauh lebih baik,” kata Inzaghi.
Inter: Harapan Setelah Kegagalan
Meski pahit, Inzaghi tetap mencoba memetik pelajaran. “Ini kekalahan yang berat karena terjadi di final. Namun, kami bisa bangkit dari kekalahan ini, seperti yang kami lakukan pada 2023 dan kemudian menjuarai liga musim berikutnya,” ungkapnya dengan nada optimistis.
Dia menegaskan bahwa perjuangan timnya layak diapresiasi. “Saya berterima kasih kepada para pemain atas apa yang mereka lakukan musim ini. Kami memang tak meraih trofi, tapi saya bangga menjadi pelatih mereka,” kata Inzaghi lagi.
Total, Inter telah memainkan 58 laga musim ini. “Kami sudah memberikan segalanya untuk sampai ke titik ini. Kami kecewa, sedih. Namun, para pemain telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka,” tutup Inzaghi.
Inter Milan masih harus menunggu lebih lama untuk kembali mengangkat trofi di kompetisi elite ini. Yang jelas, dari dua tahun penuh perjuangan ini, mereka tahu satu hal: mereka memang kalah, tapi belum habis.