FCTC Bisa Bikin Industri Rokok RI Dalam Bahaya

5 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah aturan yang mengatur peredaran produk tembakau dinilai tidak hanya menekan industri nasional, tetapi juga mencerminkan adopsi agenda asing yang tidak sah secara hukum di Indonesia.

Kritik tajam pun bermunculan dari kalangan akademisi dan ekonom yang menilai kebijakan ini bertentangan dengan prinsip kedaulatan hukum dan berpotensi menimbulkan dampak ekonomi yang luas.

Salah satu sorotan utama tertuju pada dugaan penggunaan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam aturan terkait produk rokok. Padahal, Indonesia hingga kini belum meratifikasi perjanjian internasional tersebut. Ahli Hukum Ekonomi, Ali Rido menilai hal ini sebagai kekeliruan konstitusional.

“FCTC itu sampai detik ini itu tidak diratifikasi oleh Indonesia. Sehingga secara konsepsi peraturan perundang-undangan itu tidak boleh dijadikan rujukan. Bahasa agamanya itu ya haram untuk dijadikan rujukan,” tegas dia.

Rido menegaskan bahwa sumber sah dalam pembentukan regulasi nasional adalah Pancasila, UUD 1945, dan Undang-Undang. Menjadikan FCTC sebagai acuan, menurutnya, mencerminkan dominasi agenda asing yang bertolak belakang dengan semangat kemandirian hukum Indonesia.

Ia juga menyoroti pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan regulasi. “Meaningful participation ini ‘kan melibatkan stakeholder yang terdampak. Dengan kata lain pihak asing itu yang tidak terdampak sehingga tidak perlu dilibatkan juga,” tegasnya.

Menurut Rido, transparansi dan akuntabilitas adalah kunci agar kebijakan publik tidak disusupi agenda luar yang bertentangan dengan kepentingan nasional.

Guru Besar UI: Kemasan Rokok Polos Renggut Kreativitas Pemasaran

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, memberikan kritik tajam terhadap wacana penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek (plain packaging). Kebijakan ini direncanakan masuk dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) sebagai turunan dari PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.

Hikmahanto menilai, pelarangan identitas merek pada kemasan rokok akan mematikan daya saing industri legal yang selama ini mengandalkan kemasan sebagai bagian dari strategi pemasaran.

"Bagi industri yang katakanlah mempunyai keunggulan untuk rokoknya itu punya karakter gitu ya. Bukannya tidak mungkin mereka berkompetisi melakukan persaingan melalui cover atau bungkus dari rokok tersebut. Nah, kalau misalnya ini semua plain, coba bisa dibayangkan mereka tidak akan bisa bersaing," ungkapnya, Senin (3/6/2025).

Lebih jauh, Hikmahanto juga menyoroti potensi lonjakan peredaran rokok ilegal sebagai konsekuensi langsung dari kebijakan ini.

Menurut dia, dengan kemasan yang seragam, produk ilegal akan lebih sulit dibedakan dari yang legal, sehingga memperbesar peluang penyelundupan dan penjualan bebas.

"Lalu yang kita khawatirkan apa lagi? Banyak rokok-rokok ilegal yang akan masuk. Dan kalau misalnya rokok-rokok ilegal itu masuk, baik itu yang dalam negeri ya, maupun dari luar negeri, itu artinya apa? Pendapatan negara melalui cukai juga akan turun. Sudah bisa dibayangkan seperti itu," bebernya.

Rokok Ilegal Makin Marak

Data menunjukkan bahwa peredaran rokok ilegal terus meningkat. Pada 2023, jumlah rokok ilegal yang berhasil ditindak mencapai 253,7 juta batang, dan melonjak drastis menjadi 710 juta batang pada 2024.

Kerugian negara pun tidak kecil, mengingat industri hasil tembakau menyumbang Rp 216,9 triliun atau 72 persen dari total penerimaan kepabeanan dan cukai pada 2024.

Hikmahanto juga mengkritisi indikasi bahwa wacana plain packaging merupakan adopsi tidak langsung dari ketentuan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang dicetus WHO.

Read Entire Article
Bisnis | Football |