Final Liga Champions Paling Brutal Sepanjang Masa: PSG Cetak Rekor, Inter Menangis, Dunia Terpana

1 day ago 7

Liputan6.com, Jakarta Biasanya, final Liga Champions adalah panggung pertarungan ketat dan penuh kehati-hatian. Tapi PSG melawan semua nalar dengan kemenangan telak 5-0 atas Inter Milan di Munich.

Skor mencolok ini bukan hanya memecahkan rekor margin kemenangan terbesar di final, tapi juga menandai penampilan terbaik PSG sepanjang sejarah mereka. Kemenangan ini menciptakan garis pembeda tajam antara PSG yang dulu dan PSG yang sekarang.

Dengan kecepatan, visi, dan efektivitas luar biasa, Les Parisiens tampil seperti tim dari dimensi lain. Mereka menggabungkan keindahan dalam penguasaan bola dengan agresivitas mematikan dalam serangan balik.

Penampilan Sempurna dari PSG yang Tidak Terbendung

PSG membuka skor melalui serangan terorganisir yang indah, diakhiri dengan penyelesaian tajam Achraf Hakimi. Setelah itu, mereka menari di atas kehancuran Inter, mempermainkan lini belakang lawan dengan kombinasi cepat dan cerdas.

Tidak seperti final lainnya yang biasanya berakhir 2-1 atau bahkan 1-0, PSG menang telak lima gol tanpa balas. Ini bahkan melampaui kemenangan legendaris AC Milan atas Barcelona 4-0 di tahun 1994.

Tim asuhan Luis Enrique tidak hanya menang besar, tetapi juga memperlihatkan level permainan yang terasa superior. Setiap lini menyatu, dan setiap pemain tahu perannya dengan sempurna.

Inter Milan Terlena, Lalu Tersungkur Tanpa Ampun

Di atas kertas, Inter Milan datang dengan rasa percaya diri tinggi. Tapi sejak menit awal, mereka tampak kalah langkah, kalah cepat, dan kehilangan arah permainan.

Sistem permainan Inter terlihat usang dan tidak mampu mengimbangi dinamika serangan PSG. Pemain-pemain senior seperti Calhanoglu dan Mkhitaryan tampak kewalahan menghadapi intensitas lawan.

Kekalahan ini bukan sekadar kegagalan teknis, tapi sebuah tamparan emosional yang menyakitkan. Air mata suporter Inter usai peluit akhir menggambarkan betapa dalam luka yang ditinggalkan malam itu.

Luis Enrique Cetak Sejarah, Para Pemain PSG Bersinar

Kemenangan ini membuat Luis Enrique sejajar dengan elite pelatih top Eropa. Ia kini menjuarai Liga Champions bersama dua klub berbeda—Barcelona dan PSG—dalam rentang satu dekade.

Sosok-sosok kunci pun muncul. Donnarumma tampil luar biasa sepanjang fase gugur, termasuk penyelamatan krusial lawan Arsenal dan aksi tenang di final.

Khvicha Kvaratskhelia menjadi simbol kesuksesan PSG musim ini, menambah trofi Liga Champions ke dalam daftar gelar Serie A dan Ligue 1 yang sudah dikoleksinya. Sementara Fabian Ruiz memperkuat reputasinya sebagai gelandang kelas dunia.

Ousmane Dembele: Dari Winger Rapuh Jadi Ujung Tombak Mematikan

Tak banyak yang menyangka Dembele akan berevolusi menjadi penyerang tengah kelas dunia. Tapi di bawah arahan Luis Enrique, ia menjelma jadi predator tajam yang juga aktif menekan lawan.

Pelatihnya bahkan menyebut Dembele layak memenangkan Ballon d'Or, bukan hanya karena gol-golnya, tetapi juga kontribusi tanpa bola. Tekanan tinggi dari sang pemain membuat Inter tak pernah nyaman membangun serangan.

Di final, Dembele tidak hanya mencetak gol, tapi juga memberi ketakutan konstan bagi bek-bek Inter. Pergerakannya dinamis, penuh kejutan, dan sangat sulit diprediksi.

PSG Lebih dari Sekadar Kumpulan Bintang

Meski individu-individu bersinar, PSG membuktikan diri sebagai satu unit yang utuh. Rotasi lini tengah mereka menjadi fondasi permainan yang mematikan dan efisien.

Vitinha dan Fabian Ruiz menampilkan kecerdasan taktis tinggi, memungkinkan pemain seperti Hakimi untuk menusuk dari sayap. Gol ketiga yang dicetak Doue hasil dari kombinasi brilian dari lini tengah ke depan.

Pergerakan penyerang yang cair—Doue, Kvaratskhelia, dan Dembele—memungkinkan PSG menciptakan ruang tanpa kehilangan keseimbangan. Mereka memainkan sepakbola berbasis kombinasi, bukan sekadar posisi.

Momen Bersejarah, Tapi Jangan Terlena

Meski kemenangan ini monumental, Luis Enrique dan PSG sadar betul bahwa Liga Champions bukan kompetisi yang menjamin dominasi jangka panjang. Kejayaan ini lahir dari kerja keras dan detail kecil, bukan sekadar nama besar.

PSG sempat hampir tersingkir oleh Liverpool lewat adu penalti, dan banyak bergantung pada Donnarumma saat melawan Arsenal. Di fase grup pun performa mereka kurang meyakinkan.

Namun pada akhirnya, dunia hanya mengingat malam puncak. Seperti Milan di tahun 1994, PSG kini punya malam keemasan yang akan dikenang sepanjang masa.

Read Entire Article
Bisnis | Football |