Liputan6.com, Jakarta Francesco Acerbi pernah berdiri di ambang kehancuran jauh sebelum jadi pahlawan di Inter Milan. Kariernya tampak menjanjikan, tapi hidup punya cara yang kejam untuk menguji mental seorang pemain muda yang masih mencari pijakan.
Dalam bayang-bayang alkohol, duka mendalam karena kehilangan orang tua, hingga diagnosis kanker yang mengguncang, Acerbi jatuh sedalam-dalamnya. Tapi dari reruntuhan itulah, ia bangkit, lebih kuat, lebih tangguh, dan lebih sadar akan arti kehidupan.
Tak ada kisah pahlawan yang tanpa luka. Acerbi memulai perjalanannya di kasta bawah sepak bola Italia, dipinjamkan ke Renate di Serie D. Dari sana, ia menempuh jalur berliku: Reggina, Genoa, lalu Chievo, klub di mana ia akhirnya mencicipi debut di Serie A.
Impian masa kecilnya pun menjadi nyata. Pada tahun 2012, AC Milan, salah satu kekuatan penting di sepak bola Italia, datang meminangnya. Seharusnya ini menjadi klimaks dari kisah dongengnya. Tapi takdir berkata lain.
Jatuh ke Jurang: Alkohol, Duka, dan Depresi
Tak lama setelah bergabung dengan Rossoneri, Acerbi kehilangan ayahnya. Duka yang dalam membuatnya kehilangan arah. Ia terjun bebas ke dalam depresi dan mulai mencari pelarian di dalam botol.
"Di awal karier saya, saya tidak punya sikap yang tepat untuk menjadi pemain profesional," aku Acerbi di kemudian hari, dikutip dari BBC Sport.
"Saya sering datang latihan dalam keadaan mabuk. Saya merasa fisik saya cukup kuat, dan itu sudah cukup. Tapi saat ayah saya meninggal, saya benar-benar kehilangan semangat hidup. Saya sakit dan saya minum apa saja."
Kebersamaannya dengan Milan pun tak berlangsung lama. Hanya enam bulan setelah bergabung, ia dikembalikan ke Chievo, lalu dilepas ke Sassuolo. Dari luar, ini hanya tampak seperti transfer biasa. Tapi di dalam dirinya, badai besar sedang berkecamuk.
Pukulan Telak: Kanker Testis yang Mengubah Segalanya
Juli 2013, dunia Acerbi kembali runtuh. Saat menjalani tes medis, dokter mendiagnosis adanya kanker testis. Tumor itu segera diangkat, dan semangatnya sempat kembali.
Ia bermain 13 kali bersama Sassuolo, hingga sebuah tes doping pada Desember 2013 menunjukkan hasil positif, bukan karena doping, tetapi karena kanker itu ternyata kembali. Bagi sebagian orang, ini mungkin akhir. Tapi Acerbi memilih jalan berbeda.
Ia menjalani beberapa putaran kemoterapi. Bukan hal yang mudah. "Itu dunia yang penuh rasa sakit dan keberanian," kenangnya.
Namun, justru dari penderitaan itu ia menemukan makna baru dalam hidup. "Anehnya, tumor itu memberi saya kesempatan kedua. Ia membuat saya sadar siapa saya, dan apa yang saya inginkan," kata Acerbi.
Kebangkitan: Kembali ke Lapangan sebagai Sosok Baru
Musim berikutnya, Acerbi kembali merumput. Kali ini bukan hanya sebagai pemain bola, tetapi sebagai pria yang telah melalui neraka dan kembali hidup untuk menceritakan kisahnya.
Selama lima musim di Sassuolo, ia menjelma sebagai bek tangguh yang stabil. Kariernya bangkit. Pada tahun 2018, Lazio datang dan memberinya panggung yang lebih besar. Di bawah arahan Simone Inzaghi, ia menjadi pemimpin lini belakang Biancoceleste.
Inzaghi, yang kemudian melatih Inter Milan, tak melupakan kualitas anak didiknya itu. Pada musim panas 2022, saat banyak yang meragukan, Inzaghi bersikeras membawa Acerbi ke Giuseppe Meazza.
"Inter baik hati mendengarkan saya tentang Acerbi. Saya tahu dia akan membantu kami karena konsentrasinya dan keberaniannya unik," kata Inzaghi.