Liputan6.com, Jakarta Jack Grealish menikmati awal yang berbeda dalam kariernya musim ini. Jika sebelumnya ia kerap absen membela timnas Inggris dan kesulitan menembus performa puncak di Manchester City, kini kiprahnya bersama Everton menarik perhatian.
Dalam dua laga Premier League, Grealish sudah mengoleksi empat asis. Angka itu bahkan dua kali lipat dari total kontribusinya dalam dua musim terakhir di City. Perubahan ini menimbulkan pertanyaan: sekadar kebetulan statistik, atau benar-benar kebangkitan?
David Moyes menepis pujian yang diarahkan kepadanya, dengan menekankan bahwa semua ini lahir dari mentalitas Grealish sendiri. Manajer Everton hanya memberi ruang, sedangkan pemain 30 tahun itu yang membuktikan diri di lapangan.
Kini, publik menantikan apakah performa impresif ini sekadar awalan manis atau benar-benar sinyal kembalinya Grealish ke level terbaik, sebagaimana ketika ia menjadi bintang utama Aston Villa.
Konsistensi Statistik dan Kreativitas Grealish
Performa Grealish kerap disalahpahami ketika hanya dilihat dari jumlah asis. Selama di City, ia sering dianggap menurun drastis karena catatan kontribusinya tidak mencolok. Padahal, data expected assists (xA) menunjukkan konsistensi kreativitasnya tetap tinggi.
Dalam wawancara pada 2022, Grealish mengungkap bahwa staf analisis City selalu menekankan pentingnya xA. Menurutnya, kreativitas bukan hanya soal asis nyata, melainkan peluang berkualitas yang ia ciptakan. Fakta ini didukung statistik, di mana ia sempat masuk lima besar pemain dengan xA tertinggi di Premier League musim 2021/22.
Perbandingan ini menegaskan bahwa penurunan produktivitas Grealish bukan semata karena kualitasnya merosot, melainkan lebih karena faktor eksekusi peluang dari rekan setim. Kini, dengan Everton, angka-angka itu mulai terealisasi nyata lewat asis konkret.
Perbedaan Gaya Main Guardiola dan Moyes
Salah satu alasan utama mengapa Grealish tampak hidup kembali adalah perbedaan filosofi antara Pep Guardiola dan David Moyes. Guardiola mengedepankan penguasaan bola serta kontrol ruang sempit, membuat Grealish lebih sering bermain aman dengan umpan ke belakang.
Di City, ia kerap terjebak dalam situasi satu lawan dua tanpa opsi pergerakan di sekelilingnya. Struktur tim yang disiplin membuat kreativitas individualnya terbatas, meski secara taktik ia menjalankan instruksi dengan baik.
Berbanding terbalik, Moyes lebih senang membangun permainan dari transisi. Everton menutup ruang di tengah saat bertahan, lalu melepaskan Grealish untuk mengeksploitasi ruang ketika bola direbut. Di sinilah kebebasan Grealish tampak jelas, karena ia diperbolehkan mengambil risiko yang dulu tak sejalan dengan filosofi Guardiola.
Dampak Langsung di Everton
Di Everton, Grealish kembali menjadi pemain kunci di sisi kiri. Meski masih menghadapi tekanan lawan yang berlapis, kini ia punya opsi lebih berani untuk menembus pertahanan. Contoh nyata terlihat saat melawan Wolves, ketika ia memulai dengan umpan sederhana lalu langsung mencari ruang kembali untuk melepaskan tembakan.
Selain kontribusi langsung berupa asis, Grealish juga tetap menjadi magnet pelanggaran. Catatan 485 foul yang diterimanya sejak 2019/20 membuktikan ia selalu jadi sasaran lawan. Everton jelas diuntungkan, mengingat mereka termasuk tim terbaik dalam memanfaatkan situasi bola mati musim lalu.
Gabungan kreativitas, keberanian, dan peran penting dalam skema transisi menjadikan Grealish elemen vital. Tidak heran jika banyak yang menyebut perpindahan ini sebagai "match made in heaven" antara pemain dan klub.
Pindah ke Everton bisa menjadi titik balik karier Grealish. Setelah lama terkungkung dalam sistem ketat City, kini ia kembali menikmati kebebasan yang pernah membesarkannya di Aston Villa.