Liputan6.com, Jakarta Pada 8 Maret 2025, sorotan tertuju pada Simone Inzaghi. Pelatih Inter Milan itu hadir dengan penuh keyakinan dalam sesi jumpa pers jelang laga 16 besar Liga Champions kontra Feyenoord. Satu kalimatnya kala itu menggema lebih keras dari biasanya.
“Saya seharusnya mengoreksi diri saya lagi dan mengatakan empat gelar, karena kami juga berpeluang untuk meraih Piala Dunia Antarklub di akhir musim,” ucapnya, dikutip dari Sky Sports Italia.
Keyakinan itu tidak lahir dari angan-angan kosong. Inter Milan memang tampil luar biasa sejak awal musim. Stabil di liga, meyakinkan di Eropa, dan tetap kompetitif di Coppa Italia.
Wajar bila publik mulai berbisik soal treble, bahkan quadruple, seperti yang diutarakan sang allenatore. Tapi, sepak bola tidak pernah mengenal skenario indah tanpa ujian dan Inter akhirnya dipaksa menelan kenyataan paling pahit.
Musim yang Menjanjikan, Akhir yang Menyakitkan
Bisa dibilang, Inter mengarungi musim 2024/2025 seperti sebuah kapal mewah yang akhirnya karam di pelabuhan. Segalanya tampak berjalan sempurna hingga fase-fase akhir kompetisi.
Di Coppa Italia, Inter harus menyerah di semifinal dari rival sekota, AC Milan. Kekalahan itu tak hanya memupus satu peluang trofi, tetapi juga menjadi peringatan dini bahwa musim tidak akan semudah yang dibayangkan.
Namun, segalanya belum hilang. Di Serie A, Inter tetap bertarung hingga pekan terakhir. Persaingan dengan Napoli berlangsung ketat, dramatis, dan penuh emosi. Sayangnya, satu poin menjadi jarak yang tak bisa dijembatani. Napoli meraih scudetto, Inter hanya bisa memandang podium juara dari sisi yang paling pahit, posisi kedua.
Puncak tragis datang di Allianz Arena, pada malam final Liga Champions. Lawan mereka bukan sembarang tim: PSG. Tapi siapa sangka, Inter justru mencatat sejarah yang kelam. Kekalahan 0-5 dari PSG menjadikan mereka tim dengan skor kekalahan terbesar dalam sejarah final Liga Champions.
Luka dan Mungkin Penyesalan yang Tersisa
Simone Inzaghi mencoba tetap berdiri tegak usai malam yang menyesakkan itu. Ia tahu, kata-kata tak bisa menghapus rasa sakit. Tapi ia tetap bicara.
"Kami perlu belajar dari kekalahan dan tampil lebih kuat. Ini menyakitkan seperti final Istanbul. Itu pertandingan yang berbeda. Paris selalu menjadi yang pertama menguasai bola. Kami harus tampil lebih baik," ujarnya.
“Ini kekalahan berat karena terjadi di final. Kami bisa tampil lebih kuat dari kekalahan ini, seperti yang kami lakukan pada tahun 2023 dan kemudian memenangkan liga pada musim berikutnya.”
Inzaghi merujuk pada kekalahan Inter di final Liga Champions 2023 dari Manchester City. Waktu itu, Inter bangkit dan menjuarai Serie A musim berikutnya. Sebuah pembuktian bahwa kegagalan bisa jadi bahan bakar kebangkitan.