Luruhnya Semua Rasa Sakit dari Masa Lalu Gianluigi Donnarumma

3 months ago 57

Liputan6.com, Jakarta Gianluigi Donnarumma akhirnya bisa tersenyum lebar di hadapan Inter Milan, lawan yang dulu kerap menyakiti dirinya. Bersama Paris Saint-Germain (PSG), dia sukses menaklukkan Nerazzurri di partai puncak Liga Champions 2025. Kemenangan ini menjadi penebusan emosional atas luka-luka lama yang pernah dia alami.

PSG pun meraih trofi Liga Champions pertamanya, sebuah pencapaian bersejarah untuk klub ibu kota Prancis. Di final yang digelar di Allianz Arena, Munich, PSG tampil trengginas dan menang telak 5-0 atas Inter Milan. Lima gol kemenangan Les Parisiens dicetak oleh Achraf Hakimi, Desire Doue (dua gol), Khvicha Kvaratskhelia, dan Senny Mayulu.

Bagi Donnarumma, kemenangan ini lebih dari sekadar trofi. Ini tentang membalas dendam dengan cara paling elegan. Di atas lapangan tempat dia berdiri sebagai tembok terakhir PSG, semua rasa sakit masa lalu seolah luruh oleh euforia kemenangan.

Luka Lama dari Derby Milan

Donnarumma bukan sosok asing bagi Inter Milan. Sebelum berseragam PSG, dia adalah kiper andalan AC Milan, rival sekota Inter. Dalam 11 Derby della Madonnina, hanya dua kemenangan yang bisa dia nikmati—terlalu sedikit untuk penjaga gawang sekelas dirinya.

Sisanya adalah mimpi buruk: enam kekalahan dan tiga hasil imbang yang mencoreng catatan kariernya bersama Rossoneri. Dalam rentang itu, gawang Donnarumma dibobol 21 kali oleh Inter, sedangkan hanya dua kali dia bisa pulang dengan clean sheet. Statistik tersebut menyingkap sisi kelam dari masa lalunya di Milan.

Salah satu momen paling pahit terjadi pada Februari 2021. Ketika AC Milan menjamu Inter di San Siro, mereka kalah telak 0-3. Dua gol dari Lautaro Martinez membuat Donnarumma hanya bisa berdiri terpaku, menatap papan skor dengan tatapan kosong.

Munich: Panggung untuk Menulis Ulang Takdir

Donnarumma tahu, final Liga Champions 2025 bukan sekadar laga besar, melainkan momen yang sangat personal baginya. Dia datang ke Munich bukan hanya untuk menang, tetapi untuk menulis ulang takdir yang dulu tak berpihak. Ini adalah pertarungan batin, lebih dalam dari sekadar adu teknik di atas rumput Allianz Arena.

Saat peluit panjang berbunyi, Donnarumma tak hanya membawa PSG meraih kemenangan bersejarah. Dia juga menutup bab kelam dalam kariernya dan membuka lembaran baru sebagai sosok yang telah menaklukkan bayang-bayang masa lalu. Ini adalah pembuktian yang tak ternilai, sebuah kisah balas dendam yang dikemas dalam kejayaan.

“Kami nyaris tersingkir beberapa kali sepanjang musim ini, tapi akhirnya kami bisa terus melaju dan menyelesaikan musim yang luar biasa,” kata Donnarumma kepada Sky Sport setelah pertandingan. Ucapannya mencerminkan betapa panjang dan berliku jalan yang harus dia tempuh menuju malam puncak di Munich.

Peran Pelatih PSG dan Filosofi Ketegangan yang Teredam

Di balik kemenangan PSG, ada satu sosok yang mendapat tempat khusus di hati Donnarumma: sang pelatih, Luis Enrique. Juru racik asal Spanyol itu tak hanya memberi arahan taktis, tetapi juga menciptakan ruang bagi para pemain untuk tumbuh dan merasa bebas. Donnarumma menyadari betul dampak dari pendekatan ini.

“Pelatih kami memberi kami kebebasan dan membuat kami tetap tenang. Inilah filosofinya. Dia mempersiapkan final ini dengan cara terbaik, dan kita semua bisa melihat hasilnya,” ujar Donnarumma. Kalimatnya menegaskan peran penting sang pelatih dalam menciptakan atmosfer ideal untuk berpesta di malam final.

PSG bukan sekadar juara karena kualitas individu, tetapi karena kolektivitas yang matang dan ketenangan yang dijaga hingga akhir. Donnarumma menjadi simbol dari semua itu: tenang, fokus, dan akhirnya, menang. Kisahnya bermula dari luka, lalu berubah jadi euforia.

Read Entire Article
Bisnis | Football |