Magis Munich: Dari Nottingham Forest, Chelsea, hingga PSG

1 day ago 5

Liputan6.com, Jakarta Munich bukan sekadar kota sepak bola. Ia adalah panggung di mana mimpi-mimpi yang lama tertahan akhirnya menemukan jalannya ke cahaya. Dari Nottingham Forest hingga Paris Saint-Germain (PSG), magis kota ini telah menjelma menjadi jembatan menuju keabadian.

Sabtu malam di Allianz Arena, PSG mencatat sejarah dengan menggulung Inter Milan 5-0 di final Liga Champions. Kemenangan telak itu sekaligus menjadi penebusan panjang klub yang lama dibayangi ambisi dan ekspektasi.

Ini bukan pertama kalinya Munich menjadi saksi kelahiran raja baru di Eropa. Sebelumnya, empat klub—Forest, Marseille, Borussia Dortmund, dan Chelsea—juga mencicipi gelar pertamanya di kota yang seolah punya sihir tersendiri untuk mereka yang belum pernah menang.

Munich: Magnet Juara Pertama

Kisah ini dimulai pada 1979, ketika Brian Clough membawa Nottingham Forest menembus batas imajinasi. Di Olympiastadion, mereka menaklukkan Malmo FF dan menulis dongeng klasik: klub kecil Inggris juara Eropa di musim debutnya.

Empat belas tahun berselang, giliran Marseille yang mencicipi manisnya trofi. Satu-satunya klub Prancis yang pernah juara sebelum PSG itu menundukkan AC Milan dan mengukir sejarah untuk negaranya—juga di Munich.

Pada 1997, Borussia Dortmund menciptakan kejutannya sendiri. Menghadapi Juventus yang kala itu menyandang status juara bertahan, tim asal Jerman itu tak gentar. Mereka menang 3-1 dan menjadikan Olympiastadion ladang keajaiban lagi.

Chelsea dan Takdir di Tanah Musuh

Final 2012 membawa cerita emosional yang lain. Chelsea datang ke Allianz Arena sebagai underdog, menghadapi Bayern Munchen di kandangnya sendiri. Namun, di hadapan puluhan ribu pendukung lawan, mereka tak menyerah.

Pertandingan berakhir 1-1 dan dilanjutkan adu penalti. Di situlah Chelsea menemukan jalannya menuju puncak, menang 4-3 dan menuliskan sejarah sebagai juara Eropa untuk pertama kalinya.

Munich pun kembali memainkan perannya: kota yang memberi kesempatan bagi yang belum pernah mencicipi kemenangan untuk menjadikannya nyata. Allianz Arena menggantikan Olympiastadion, tapi magisnya tak berubah.

PSG dan Penebusan Panjang

PSG datang ke final 2025 dengan luka lama. Tahun 2020, mereka sempat hampir meraih trofi, tapi tumbang oleh Bayern di Lisbon. Proyek besar mereka dengan Neymar, Mbappe, dan Messi tak kunjung membuahkan hasil di Eropa.

Namun, malam itu, semua berubah. Dipimpin pemain muda Desire Doue, PSG tampil garang dan percaya diri. Doue menyajikan assist untuk Hakimi sebelum mencetak dua gol sendiri, menjadi pusat dari malam penuh keajaiban itu.

Khvicha Kvaratskhelia dan Senny Mayulu melengkapi pesta. Dengan kemenangan lima gol tanpa balas, PSG tak hanya meraih gelar perdananya—mereka juga mencatat margin kemenangan terbesar dalam sejarah final Liga Champions.

Magis yang Tak Pernah Padam

Ada sesuatu yang berbeda di Munich. Bukan hanya atmosfer stadion atau kualitas lapangannya, tapi aura yang membuat klub-klub yang belum pernah juara merasa punya tempat untuk menang. Seolah kota ini mengerti bagaimana mendekap mimpi-mimpi lama dan mewujudkannya.

Bagi PSG, malam itu bukan sekadar kemenangan. Itu adalah puncak dari ambisi, modal kepercayaan untuk generasi baru, dan penutup dari penantian panjang yang sempat membuat banyak orang ragu akan masa depan proyek besar mereka.

Munich telah memberi mereka sejarah, sama seperti kepada empat juara lainnya. Dengan demikian, kota ini kembali menegaskan dirinya: sebagai tanah suci bagi para pemimpi yang belum pernah meraih puncak, tapi terus mencoba mencapainya.

Read Entire Article
Bisnis | Football |