Liputan6.com, Jakarta Di tengah gegap gempita Allianz Arena di kota Munich, sejarah ditulis oleh Paris Saint-Germain (PSG). Setelah bertahun-tahun menjadi simbol ambisi yang tak kunjung terwujud, Les Rouge-et-Bleu akhirnya menggenggam trofi Liga Champions untuk pertama kalinya. Bukan sekadar menang, mereka menggulung Inter Milan dengan skor yang tak masuk akal: 5-0.
Sebuah pesta lima gol di final Eropa bukan hal yang lazim, apalagi melawan tim dengan rekor pertahanan sekuat Inter. Namun, PSG tampil seperti tim dari dimensi lain—penuh presisi, gairah, dan kekejaman dalam menyerang. Mereka bukan hanya juara, mereka adalah penghancur mitos.
Bagi Inter, ini bukan sekadar kekalahan. Ini adalah momen saat mereka dibawa turun ke bumi oleh tim yang sejak menit pertama menunjukkan bahwa malam itu hanya akan punya satu penguasa. Dan penguasa itu bernama Paris Saint-Germain.
Babak Awal yang Menggebrak
Inter datang ke final dengan catatan gemilang: hanya tertinggal selama 17 menit dari 14 pertandingan sebelumnya. Namun, di Munich, angka itu langsung terhapus hanya dalam waktu 12 menit. Sebuah umpan jenius dari Vitinha membuka ruang bagi Desire Doue yang menyodorkan assist manis kepada Achraf Hakimi untuk menjebol gawang mantan klubnya.
PSG seperti macan lapar yang tak mau menunggu. Delapan menit berselang, giliran Ousmane Dembele yang mengacak-acak sisi kiri, menunda sejenak untuk mencari opsi, lalu memberikan bola matang ke Doue. Dengan kontrol dada dan tembakan cepat, si remaja 19 tahun menggandakan keunggulan—bola membentur Federico Dimarco dan masuk ke gawang.
Inter mencoba merespons. Mereka menemukan sedikit ritme lewat upaya udara dari Francesco Acerbi dan Marcus Thuram. Akan tetapi, semua itu terlalu ringan untuk menggoyahkan benteng PSG, yang malam itu tak sekadar solid, tapi juga dingin dan efisien.
Simfoni di Babak Kedua
Simone Inzaghi mungkin berharap jeda bisa mengubah arah angin. Namu, PSG hanya butuh waktu 18 menit di babak kedua untuk mematikan harapan itu. Vitinha kembali menjadi motor, berlari dari lini tengah, melakukan umpan satu-dua dengan Dembele, lalu menyodorkan bola yang diselesaikan dengan dingin oleh Doue ke pojok kanan bawah.
Sepuluh menit kemudian, skornya menjadi empat. Umpan kedua dari Dembele malam itu diarahkan ke Khvicha Kvaratskhelia. Tanpa keraguan, pemain Georgia itu melepaskan tembakan rendah yang menembus jala Inter. PSG menunjukkan bahwa mereka tak hanya unggul talenta, tapi juga mematikan dalam eksekusi.
Gianluigi Donnarumma sempat memamerkan penyelamatan luar biasa dari peluang emas Thuram. Namun, malam itu ditakdirkan untuk ditutup dengan kemegahan. Senny Mayulu, juga 19 tahun, masuk sebagai pemain pengganti dan mencetak gol kelima usai menyulam kombinasi cantik dengan Barcola—gol yang memecahkan rekor kemenangan terbesar dalam final Liga Champions.
Dominasi Total Sebuah Karya Sempurna
PSG tak sekadar menang. Mereka menampilkan sepak bola yang sempurna dari segala aspek—teknis, fisik, dan taktik. Tim asuhan Luis Enrique bermain seolah mereka tahu setiap detik pertandingan adalah bagian dari sejarah yang sedang mereka ukir. Ini bukan sekadar final, ini adalah pertunjukan seni.
Di sisi lain, Inter tampak seperti bayangan diri mereka sendiri. Tak mampu menandingi intensitas, tak bisa menahan gelombang serangan PSG yang datang bertubi-tubi. Dari peluit awal hingga akhir, mereka hanya bisa menyaksikan dominasi lawan tanpa daya.
Bagi PSG, ini adalah puncak dari ambisi yang selama ini nyaris menjadi beban. Di Munich, beban itu meleleh menjadi air mata kebahagiaan. Mereka kini bukan hanya raksasa finansial, tapi juga raksasa sepak bola. Untuk pertama kalinya, dengan cara yang tak akan pernah dilupakan, mereka berhasil menaklukkan Eropa.