Liputan6.com, Jakarta Final Liga Champions musim 2024/2025 yang mempertemukan Inter Milan dengan PSG tak hanya menjadi panggung bagi dua raksasa Eropa. Laga Minggu (1/6) dini hari WIB yang digelar di Allianz Arena itu juga menjadi momen haru bagi Nerazzurri.
Para pemain Inter Milan mengenakan pita hitam di lengan mereka sebagai simbol duka atas wafatnya Ernesto Pellegrini, mantan presiden legendaris klub.
Pellegrini meninggal dunia pada Sabtu (31/5) pagi waktu setempat, hanya beberapa jam sebelum Inter melakoni partai final paling prestisius di benua biru. Ia menghembuskan napas terakhir dalam usia 84 tahun.
Bagi banyak tifosi Inter, nama Ernesto Pellegrini bukan sekadar mantan presiden. Ia adalah sosok visioner yang membentuk salah satu era paling sukses dalam sejarah modern klub. Simak ulasan lebih lengkapnya di bawah ini.
Mengenang Sang Arsitek Era Keemasan
Pellegrini mengambil alih kepemilikan Inter pada tahun 1984, menggantikan Ivanoe Fraizzoli. Ia datang dengan ambisi besar dan kepercayaan diri yang tinggi.
Bersama pelatih legendaris Giovanni Trapattoni, Pellegrini memimpin Inter menorehkan catatan emas, termasuk merebut Scudetto musim 1988/1989 yang dikenal sebagai Scudetto dei record.
Saat itu, Inter mengumpulkan rekor poin tertinggi untuk kompetisi Serie A yang diikuti 18 tim, di era saat kemenangan masih bernilai dua poin.
Tak hanya sukses secara domestik, Pellegrini juga membawa kejayaan Eropa kembali ke Milan biru. Di bawah kepemimpinannya, Inter meraih dua gelar Piala UEFA pada 1991 dan 1994, serta Supercoppa Italiana pada 1989. Kemenangan Piala UEFA 1991 terasa istimewa karena mengakhiri penantian panjang selama 26 tahun untuk gelar Eropa.
Galacticos Gaya Italia
Pellegrini juga dikenal sebagai tokoh yang berani dalam transfer pemain. Ia membawa masuk deretan bintang Jerman yang kemudian menjadi ikon klub, seperti Lothar Matthäus, Andreas Brehme, Jürgen Klinsmann, dan Karl-Heinz Rummenigge.
Kehadiran mereka bukan hanya mendongkrak performa di lapangan, tetapi juga memperkuat citra global Inter Milan sebagai klub besar.
Visi Pellegrini kala itu begitu jelas: menjadikan Inter sebagai kekuatan dominan di Italia dan Eropa. Meskipun ia melepas kepemilikan klub kepada Massimo Moratti pada 1995, warisan Pellegrini tetap hidup dan diingat oleh generasi demi generasi.
Mengenakan pita hitam di lengan pada laga final bukan sekadar gestur simbolik. Itu adalah bentuk penghormatan dari Inter kepada pria yang telah menulis babak penting dalam sejarah klub.