Menjahit Harapan di Tengah Gelombang PHK

9 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda sektor tekstil dan garmen dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah pelaku usaha kecil mulai berperan sebagai penopang ekonomi alternatif. Salah satunya adalah usaha jahit rumahan yang tak hanya bertahan, tetapi juga menyerap tenaga kerja eks pabrik yang terdampak PHK.

Lala (30), pemilik salah satu usaha rumahan (home industry) dengan fokus pada produk sandang, memulai bisnisnya dari skala sangat kecil. “Saya memulai usaha jahit itu awalnya bikin untuk souvenir. Pouch-pouch kecil atau dompet-dompet kecil,” ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (9/5/2025).

Seiring berjalannya waktu, produk yang dihasilkan berkembang merambah sarung bantal, daster, dan pakaian tidur. Saat membutuhkan tambahan tenaga kerja, ia merekrut penjahit tanpa kriteria khusus. Namun, ia mengakui bahwa penjahit dengan latar belakang industri pabrik memiliki keunggulan.

“Kebetulan saya punya rekanan buat jahit, itu dia bekas buruh pabrik. Dan memang jahitannya lebih rapi dibandingkan tukang jahit rumahan biasa. Karena mungkin jenis mesin jahit yang dipakai juga berbeda,” kaya Lala.

Menurutnya, ritme kerja dan hasil akhir penjahit eks-pabrik jauh lebih efisien. “Kalau yang sudah punya pengalaman di pabrik itu kerjanya lebih cepat. Hasilnya cenderung lebih rapi,” jelasnya.

Sistem Produksi Fleksibel

Dalam menjalankan produksinya, Lala menerapkan sistem kerja berdasarkan jumlah produk yang dikerjakan, bukan sistem bagi hasil. Sehingga hasil yang didapat oleh penjahit tidak selalu sama.

“Sistem kerja yang saya terapkan itu tergantung beberapa pieces yang saya pesan. Misal tas atau baju itu harga jahitnya beda per satuan, tinggal dikali,” ungkapnya.

Meski sebagian besar produksi dilakukan oleh penjahit yang telah menjadi rekanan tetap, ada kalanya Lala harus memotong kain terlebih dahulu sebelum dikirim untuk dijahit. Ini terutama terjadi ketika penjahit yang direkrut tidak memiliki mesin pemotong, sementara pesanan sedang banyak.

“Kadang kalau saya mengerjakan kaos atau baju yang cutting itu, saya cutting ke tempat lain. Baru menjahitkan ke langganan saya uang bekas buruh pabrik itu. Memang nambah ongkos, tapi saya suka jahitan rekanan saya itu, hasil cepat dan bagus. Jadi menurut saya tidak masalah,” kata Lala.

Dampak Ekonomi Berganda

Lala juga menyadari efek domino ekonomi dari aktivitas usaha kecil yang ia jalanj. “Misalkan tukang jahit langganan saya itu, mungkin dia juga punya tenaga pembantu. Misal untuk pasang kancing, itu kan diupah juga,” jelasnya.

Namun demikian, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah ketika permintaan pasar menurun. Ia mengaku tidak bisa langsung menghentikan kerja sama dengan penjahit karena mempertimbangkan dampak sosial.

“Tentu tetap pesanan itu kita bikin, kita produksi, tapi jumlahnya dikurangi kalau lagi sepi orderan,” ujarnya.

Pasar Musiman dan Penjualan Online

Permintaan terbesar biasanya datang pada momen-momen tertentu, seperti Idul Fitri atau pergantian tahun ajaran. Untuk menjaga kestabilan produksi saat musim sepi, ia mengandalkan pelanggan tetap dan penjualan daring.

“Saya juga jualan di online. Jadi minimal itu tetap ada orderan meskipun sepi, tapi tetap ada produksi meski sedikit supaya semua makan,” jelasnya.

Solusi untuk Korban PHK?

Meski tidak mampu menyerap tenaga kerja sebanyak pabrik besar, Lala menilai usaha jahit rumahan seperti ini tetap punya peran penting.Ia mengaku hanya mampu merekrut maksimal tiga orang tambahan karena keterbatasan modal.

“Kami pengusaha home industry itu juga punya keterbatasan untuk menggaji. Kita juga tidak bisa menjanjikan gaji UMR, misalnya setara UMR pabrik yang sebelumnya itu. Kita belum bisa sampai ke sana,” kata Lala.

Read Entire Article
Bisnis | Football |