Liputan6.com, Jakarta Paris Saint-Germain (PSG) akhirnya menjawab keraguan dan mengangkat trofi Liga Champions untuk pertama kalinya. Di final musim 2024/25, Les Parisiens menghajar Inter Milan 5-0 dalam pesta gemilang di Munich. Ini malam yang tak hanya mengukuhkan dominasi, tapi juga menandai berakhirnya penantian panjang.
Selama bertahun-tahun, PSG dipandang sebagai proyek mahal yang belum membuahkan hasil di Eropa. Gelar domestik bergelimang, tapi Liga Champions selalu terasa menjauh. Kini, trofi itu bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan indah yang dipahat dengan dominasi mutlak.
Kemenangan ini lebih dari sekadar angka di papan skor. Ini adalah penebusan, pembuktian, dan awal dari narasi baru—PSG bukan lagi pengejar, mereka sudah menjadi pemilik panggung.
PSG: Awal Terseok, Akhir Menakjubkan
Musim PSG tak selalu berjalan mulus. Di fase liga Liga Champions, mereka hanya menang empat kali dari delapan laga. Kekalahan dari Atletico Madrid di Matchday 4 membuat banyak pihak meragukan arah tim ini.
Namun, segalanya berubah ketika PSG bangkit menghadapi Manchester City. Kemenangan atas Salzburg di laga terakhir memastikan tiket ke fase gugur walau mereka hanya finis di peringkat ke-15 dari 16 tim yang lolos.
Momentum itu terus dijaga. PSG menghajar Brest 10-0 di babak play-off, tapi ujian sejati datang di babak 16 besar: menghadapi Liverpool, tim dengan DNA Eropa yang kuat.
PSG Melewati Neraka Anfield
PSG sempat tertinggal agregat setelah kalah 0-1 di Paris dari Liverpool. Namun, di Anfield, mereka menunjukkan ketahanan mental yang belum pernah terlihat sebelumnya—menang 1-0 dan unggul lewat adu penalti dramatis.
Kemenangan ini jadi titik balik. PSG merasakan bahwa musim ini berbeda. Mereka bukan sekadar koleksi talenta, tapi sudah menjelma menjadi satu kesatuan tim yang utuh.
Ousmane Dembele menjadi katalis di lini depan, Joao Neves mengatur tempo di tengah, dan Willian Pacho menjaga kestabilan di belakang. PSG tak lagi bergantung pada satu nama besar—mereka menang karena kolektivitas.
PSG Menaklukkan London, Menghancurkan Wakil Kota Milan
Usai melewati Liverpool, PSG menyingkirkan Aston Villa dan Arsenal. Gol cepat Dembele di Emirates menjadi pembeda, sementara kemenangan 2-1 di Paris memastikan tiket final.
Di Munich, PSG tampil sempurna. Inter Milan tak diberi ruang bernapas, kalah dalam duel, kalah dalam tempo, dan akhirnya kalah telak 0-5. PSG bermain intens, ganas, dan penuh kepercayaan diri.
Luis Enrique memainkan peran besar di balik kemenangan ini. Dia mengubah PSG dari tim flamboyan menjadi kekuatan yang tangguh secara taktik dan mental.
Transformasi PSG Menuju Kesempurnaan
Sejak fase gugur, PSG adalah tim paling stabil di Eropa. Kemenangan atas Liverpool bukan hanya tentang hasil, tapi tentang mental juara yang mulai tumbuh dalam skuad ini.
Tim ini belajar bertahan, mengelola tekanan, dan tahu kapan harus 'membunuh' laga. Garis pertahanan yang rapat memungkinkan lini depan bermain lepas tanpa kehilangan struktur.
Kemenangan atas Inter menjadi klimaks dari proses panjang ini. PSG kini bukan tim yang mudah goyah—mereka mesin kemenangan yang efisien dan tenang di bawah tekanan.
PSG: Mereka Bermain Sebagai Satu
Dembele menutup musim sebagai top skor dan raja assist PSG, berkontribusi langsung terhadap 14 gol. Joao Neves berlari hampir 185 kilometer sepanjang turnamen—sebuah simbol ketekunan di lini tengah.
Willian Pacho mencatat menit bermain terbanyak, sementara Achraf Hakimi jadi pemain tercepat. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang bermain demi sorotan—semua bergerak dalam sistem yang saling mendukung.
Inilah kekuatan PSG musim ini: harmoni. Campuran pemain teknis dan atletis, dengan rotasi efektif dan kedalaman skuad yang solid, jadi pondasi utama menuju kejayaan.
Luis Enrique dan Warisan Sang Arsitek
Di musim keduanya, Luis Enrique menuntaskan pekerjaan yang sempat tertunda. Dari semifinal tahun lalu, dia kini membawa PSG meraih segalanya: trofi domestik dan Liga Champions.
Pelatih asal Spanyol ini menyatukan ruang ganti yang penuh ego menjadi tim yang solid dan berkarakter. Dia menciptakan identitas bermain yang jelas dan memberi ruang bagi setiap pemain untuk berkembang.
Dengan gelar ini, Enrique masuk jajaran pelatih elite Eropa. PSG bukan lagi sekadar tim bintang—mereka telah menjadi standar baru yang harus diikuti.
Paris Tak Lagi Sama
PSG kini menjadi klub Prancis ketiga yang dua kali tampil di final Liga Champions, dan seperti Marseille, mereka meraihnya di kesempatan kedua. Ini bukan cerita keberuntungan, tapi hasil dari proyek panjang yang kini membuahkan hasil.
Tak ada lagi cerita pahit tentang kegagalan di malam besar. Yang tersisa hanyalah kisah kemenangan, yang menutup babak lama dan membuka era baru untuk sepak bola Prancis.
Kini, tak ada yang bisa menyangkal: Paris bukan hanya ibu kota Prancis. Paris telah resmi menjadi pusat kekuasaan baru sepak bola Eropa.