Liputan6.com, Jakarta - Menjelang Hari Raya Idulfitri, tren berbagi hampers atau bingkisan Lebaran semakin marak di kalangan masyarakat. Hampers Lebaran menjadi simbol perhatian dan bentuk berbagi kebahagiaan kepada keluarga, kerabat, rekan kerja, hingga mitra bisnis.
Berbagai jenis hampers pun ditawarkan di pasaran, mulai dari makanan, perlengkapan ibadah, hingga barang-barang mewah. Namun, di balik popularitasnya, muncul pertanyaan mengenai sejauh mana dampak ekonomi dari tren hampers ini. Menurut Nailul Huda, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS (Center of Economic and Law Studies), tren hampers Lebaran memiliki dampak yang sangat kecil terhadap perekonomian. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari sifatnya yang segmented, potensi menciptakan budaya konsumtif, hingga minimnya kontribusi terhadap ekonomi lokal.
"Tren hampers Lebaran sangat kecil dampaknya kepada perekonomian mengingat ya dilakukan sekali, dan trennya segmented sekali," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Rabu (26/3/2025).
Nailul menilai, berbagi hampers bukanlah kebutuhan utama dalam perayaan Idulfitri. Lantaran, tren ini lebih banyak dilakukan oleh kalangan tertentu yang memiliki kemampuan finansial lebih.
Maka tidak semua orang mampu atau memiliki kebiasaan untuk memberikan hampers kepada orang lain, sehingga tren ini cenderung terbatas pada segmen masyarakat tertentu. "Tidak semua orang mampu untuk memberikan hampers kepada kerabatnya," ujarnya.
Selain itu, hampers bukan bagian dari tradisi utama dalam perayaan Lebaran. Tren hampers lebih bersifat tambahan dan tidak dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan kata lain, tren ini segmented dan tidak memiliki dampak ekonomi yang merata.
"Bahkan tren hampers ini menurut saya bagian dari budaya sebagian kecil masyarakat dalam merayakan momen tertentu, terutama di momen lebaran," katanya.
Budaya Konsumtif yang Berpotensi Bebani Keuangan
Dalam jangka panjang, kebiasaan berbagi hampers bisa berkembang menjadi pola konsumtif yang tidak sehat. Bagi sebagian orang, hampers bukan lagi sekadar bentuk berbagi, tetapi bisa menjadi tuntutan sosial.
Tekanan sosial ini dapat membuat seseorang merasa "harus" memberikan hampers, meskipun sebenarnya tidak memiliki anggaran yang cukup. Tren ini juga dapat mendorong perilaku konsumtif yang tidak bijak, terutama jika dilakukan secara berlebihan.
Dalam beberapa kasus, orang bisa terjebak dalam pola pengeluaran yang lebih besar hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial atau menjaga gengsi. Hal ini tentu berisiko membebani kondisi keuangan individu, terutama jika tidak disesuaikan dengan kemampuan finansial yang dimiliki.
"Bahkan dalam jangka waktu tertentu dan individu tertentu, tren bagi-bagi hampers ini bisa menjadi budaya konsumtif yang membebani keuangan masyarakat," ujarnya.
Dampak terhadap Perekonomian: Terbatas dan Tidak Signifikan
Meski tren hampers menciptakan permintaan barang di pasaran, dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan tetap terbatas. Pasar hampers yang segmented membuat kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak terlalu besar.
"Meskipun ya pasti menggerakan ekonomi karena ada permintaan barang di budaya bagi hampers ini," ujarnya.
"Kenaikan ekonomi yang dihasilkan juga sangat terbatas dan tidak signifikan menggerakkan ekonomi lokal mengingat ya pasarnya yang segmented," Nailul menambahkan.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, isi hampers tidak lagi didominasi oleh produk-produk lokal, seperti makanan atau kerajinan tangan, yang dapat memberikan nilai tambah bagi industri dalam negeri. Sebaliknya, banyak hampers yang kini berisi barang-barang impor, seperti produk kecantikan, aksesori, atau perlengkapan rumah tangga yang didatangkan dari luar negeri.
Hal ini semakin memperkecil dampak positifnya terhadap ekonomi nasional karena uang yang dibelanjakan justru mengalir ke luar negeri.
"Tren hampers saat ini juga tidak lagi berupa makanan yang bisa menghasilkan nilai tambah ataupun menyerap tenaga kerja musiman. Tapi hampers bisa berupa barang yang lagi-lagi dari impor. Jadi dampaknya jauh lebih kecil lagi kepada perekonomian," pungkasnya.