Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding menyiarkan kabar sukacita untuk lulusan baru yang tengah mencari kerja atau pekerja profesional yang mencari tempat kerja baru yang lebih menjanjikan. Ia menyebutkan ada sekitar 1,7 juta lowongan kerja di luar negeri, tetapi saat ini baru bisa terpenuhi sebanyak 297 ribu.
Lowongan kerja tersebut tersebar di berbagai negara. Setidaknya ada 100 negara tujuan bagi tenaga kerja Indonesia, di antaranya Jepang, Taiwan, Hong Kong, Korea Selatan, Jerman, dan negara-negara Eropa lainnya. Ada bermacam lingkup pekerjaan. Ada banyak jabatan kerja, bahkan ratusan sampai ribuan.
"Namun, kami mau fokus, misalnya perawat ke Jepang. Nanti, kurikulum di Jepang kami tarik ke sini. Bahasanya juga ditarik ke sini, atau di SMK yang mau berangkat, kami dorong," katanya pada Minggu, 13 April 2025.
Namun memang, lowongan kerja itu tidak bisa dengan mudah langsung diisi. Perlu banyak pelatihan yang harus dijalankan sehingga memang pekerja Indonesia siap untuk disalurkan ke negara tujuan. Perlu banyak lembaga pelatihan terlibat sesuai dengan negara tujuan.
"Konsekuensinya, kami harus menyiapkan pelatihan dan pembiayaannya. Saya bayangkan setiap pelatihan di desa kemudian diambil dua pekerja, maka dari 372 desa akan ada 700-an pekerja. Kalau ada empat angkatan, kami bisa ambil 2.800 pekerja dalam setahun," tambah dia.
Untuk itu, Karding meminta Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyiapkan klaster khusus untuk menyiapkan pekerja migran.
"Kami minta tolong Menaker agar ada klaster khusus supaya kami fokus. Jangan dicampur dengan yang disiapkan dalam negeri karena kan beda nanti," katanya. Ia mencontohkan, tenaga las antara Jepang dan Korea berbeda. Oleh karena itu, harus disiapkan secara optimal.
"Ini saya dalam rangka lihat itu semua. Nanti kami duduk bareng dengan Kemenaker karena mereka yang punya infrastrukturnya," katanya.
Terkait dengan klaster khusus tersebut, dikatakannya agar secepatnya dibentuk. "Nggak boleh lambat, kalau nggak nanti permintaan numpuk tapi kita nggak bisa menyiapkan. Apalagi ini kan ekosistem mendukung," katanya.
Selanjutnya, yang juga harus dipastikan adalah berapa jumlah tenaga kerja yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dan berapa untuk kebutuhan di luar negeri.
Gayung Bersambut
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli pun siap mendukung pelatihan untuk calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau PMI ke luar negeri. Kemnaker selalu berdiskusi dengan Kementerian P2MI soal kebutuhan pekerja migran. Pihaknya juga telah siap membuat program pelatihan bagi para calon TKI, jika memang ada kebutuhan besar dari luar negeri.
"Sudah, sudah. Jadi kita akan support pelatihannya nanti," kata Menaker Yassierli saat ditanya oleh Liputan6.com di Jakarta, Senin (14/4/2025).
Untuk urusan kepelatihan, Kemnaker menyerahkan kepada Kementerian P2MI untuk menyusun formatnya. Setelahnya, Kemnaker bakal memberikan dukungan dalam bentuk tenaga instruktur hingga proses sertifikasi.
"Nanti kita support, karena kan kita yang selama ini dalam bidang pelatihan, kita punya modalitasnya, kemudian kita punya skema-skema untuk sertifikasi, instruktur, dan seterusnya. Tapi kolaborasi intinya," bebernya.
Kurangi Angka Pengangguran
Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Anggawira, pun semangat menanggapi hal tersebut.
Ia melihat jutaan lowongan tersebut tidak hanya memberikan lapangan kerja, tetapi juga menjadi sarana peningkatan kompetensi dan pengalaman global bagi para pekerja Indonesia.
“Ini bukan hanya peluang kerja, tapi juga kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, memperoleh penghasilan lebih baik, serta membuka jalan bagi transfer pengetahuan dan budaya kerja global,” ujar Anggawira kepada Liputan6.com, Senin (14/4/2025).
Namun demikian, Anggawira menekankan pentingnya pendekatan yang terstruktur agar peluang ini tidak berakhir menjadi jebakan bagi tenaga kerja yang belum siap.
Menurutnya, pelatihan, perlindungan hukum, dan akses informasi harus menjadi bagian integral dari strategi penempatan tenaga kerja ke luar negeri.
“Potensi ini harus dimanfaatkan dengan pendekatan yang terstruktur agar tenaga kerja kita benar-benar siap secara kompetensi dan mental,” jelasnya.
Angga melihat masih banyak lulusan SMK dan angkatan kerja muda di dalam negeri yang belum terserap oleh industri. Dalam konteks ini, peluang kerja di luar negeri dinilai dapat menjadi solusi sementara untuk menekan angka pengangguran sembari menunggu industri dalam negeri terus berbenah.
“Kerja di luar negeri bisa menjadi buffer yang membantu mengurangi angka pengangguran. Namun perlu digarisbawahi, ini bukan solusi jangka panjang. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menciptakan tenaga kerja yang adaptif, produktif, dan sesuai kebutuhan industri.”
Permasalahan Tenaga Kerja di Indonesia
Dalam pandangannya, masalah utama tenaga kerja di Indonesia terletak pada ketidaksesuaian antara kompetensi yang dimiliki dengan kebutuhan pasar kerja, baik dalam aspek keterampilan teknis maupun soft skills. Selain itu, akses terhadap pelatihan berkualitas dan fasilitas penunjang di berbagai daerah masih sangat terbatas.
“Mismatch antara kompetensi dengan kebutuhan pasar kerja masih jadi tantangan besar. Belum lagi keterbatasan dalam bahasa asing, rendahnya mindset wirausaha, dan minimnya literasi digital,” kata Anggawira.
HIPMI mendorong adanya kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan institusi pendidikan untuk memperkuat ekosistem ketenagakerjaan yang lebih siap dan berdaya saing global.
Menurut Anggawira, peluang kerja di luar negeri sebaiknya tidak hanya dijadikan jalan keluar sesaat, tetapi bagian dari strategi jangka panjang penguatan kualitas SDM nasional.
“Kita tidak boleh hanya mengandalkan peluang kerja di luar negeri sebagai jalan keluar. Kita harus jadikan ini sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk menjadikan tenaga kerja Indonesia sebagai aset yang bernilai tinggi di era persaingan global,” pungkasnya.
Bisa Tekan Pengangguran
Aliansi Serikat Pekerja Indonesia (ASPIRASI) menyambut juga menyambut positif kabar tersebut dan menyebutnya sebagai peluang emas untuk menekan angka pengangguran di dalam negeri, terutama di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi belakangan ini.
“Ini sangat bagus jika memang bisa membantu mengurangi pengangguran. Ini membuka peluang baru bagi buruh Indonesia,” ujar Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat kepada Liputan6.com, Senin (14/4/2025).
Namun, ASPIRASI juga menekankan pentingnya kesiapan dari sisi pemerintah dan tenaga kerja. Pemerintah dinilai perlu mengambil langkah konkret untuk menyiapkan tenaga kerja yang terampil dan sesuai dengan kebutuhan pasar global.
Hal ini meliputi penyusunan program pelatihan, penyediaan informasi pasar kerja internasional, hingga penyederhanaan proses administrasi tenaga kerja migran.
“Yang harus dilakukan pemerintah adalah menyiapkan tenaga kerja yang terampil, link and match dengan kebutuhan pasar, mulai dari dokumen hingga peningkatan keterampilan,” jelas Mirah.
ASPIRASI melihat peluang ini sebagai momentum strategis untuk mendorong peningkatan kualitas dan kompetensi pekerja Indonesia agar memenuhi standar internasional. Skilling, upskilling, dan reskilling menjadi kata kunci yang perlu digencarkan agar tenaga kerja tidak hanya siap, tetapi juga kompetitif.
Siapkah Buruh Indonesia Bersaing?
Namun begitu, kesiapan buruh Indonesia untuk mengisi lowongan tersebut masih sangat tergantung pada jenis sektor yang dituju. Untuk sektor seperti pertanian, perikanan, dan perkebunan, pekerja Indonesia dinilai sudah cukup siap. Tetapi untuk sektor berbasis teknologi dan digitalisasi, keterampilan tenaga kerja dinilai masih harus ditingkatkan secara signifikan.
Dalam rangka menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang berdaya saing global, ASPIRASI juga mendorong peningkatan kualitas pendidikan vokasi di Indonesia. “Pemerintah harus menyesuaikan pelatihan vokasi dengan kebutuhan pasar global, termasuk meningkatkan tenaga pengajar, sarana dan prasarana, serta membangun ekosistem pelatihan yang relevan,” ungkap Mirah.
ASPIRASI tidak menutup mata terhadap tantangan besar yang dihadapi tenaga kerja Indonesia, terutama rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan di bidang teknologi. Oleh karena itu, pelatihan dan pengembangan kompetensi harus dilakukan secara masif dan menyeluruh, khususnya bagi pekerja yang terkena PHK.
Sedangkan pengamat ketenagakerjaan, Tadjuddin Noer Effendi, perlindungan terhadap PMI perlu diperhatikan secara serius, apalagi Pemerintah Indonesia telah menerima tawaran pekerjaan untuk 1,7 juta pekerja migran dari 100 negara.
Menurutnya meskipun di negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia sudah terbilang baik, dengan sistem yang mendukung hak-hak pekerja, seperti gaji yang sesuai, jaminan sosial, dan tempat tinggal yang layak.
Namun, ada pula negara-negara yang masih membutuhkan perhatian lebih, seperti Malaysia. Di beberapa kawasan, terutama di sekitar Sarawak, banyak pekerja Indonesia yang bekerja di sektor perkebunan yang rentan terhadap kondisi kerja yang tidak ideal.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat memperkuat pengawasan dan perlindungan di negara-negara yang belum memiliki sistem perlindungan yang memadai.
"Jadi, memang kalau di negara-negara yang sudah perlindungan terhadap tenaga kerja migran dari Indonesia itu baik, itu nggak apa-apa, kayak Hongkong juga banyak tenaga kerja kita. Itu kan membantu pemerintah dalam mengurangi angka pengangguran di Indonesia," kata Tadjuddin kepada Liputan6.com.
Hati-hati Eksploitasi
Selain itu, Tadjuddin juga menyoroti kekhawatiran terhadap potensi eksploitasi hingga perdagangan manusia yang masih menjadi isu yang perlu diwaspadai.
Kasus-kasus di negara seperti Kamboja dan Myanmar, yang melibatkan pekerja migran Indonesia, menjadi peringatan bagi pemerintah untuk memastikan bahwa negara-negara tersebut tidak menjadi tujuan penempatan pekerja migran Indonesia.
Laporan-laporan mengenai pekerja yang menjadi korban perdagangan manusia atau tindak kekerasan, seperti pencurian organ, menggarisbawahi perlunya kebijakan yang lebih ketat terkait negara-negara yang berisiko.
Pemerintah Indonesia telah melarang pengiriman tenaga kerja ke negara-negara yang terindikasi terlibat dalam perdagangan manusia atau memiliki risiko eksploitasi tinggi, seperti Kamboja, Myanmar, dan Thailand. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi PMI dari potensi ancaman yang sangat berbahaya.
"Ya, jadi pemerintah harus memastikan bahwa kalau tenaga kerja kita dikirim ke negara itu bahwa tidak akan terjadi eksploitasi. Seperti yang terjadi di Myanmar, Kamboja, dimana lagi itu kan Thailand, kalau nggak salah. Itu kan memang sudah dilarang pemerintah. Artinya tenaga kerja kita itu dilarang masuk ke sana," ujarnya.
Diplomasi Ketenagakerjaan
Tadjuddin Noer Effendi menyarankan agar pemerintah dapat memaksimalkan peran duta besar dan perwakilan Indonesia di luar negeri untuk memastikan perlindungan bagi pekerja migran.
Sebelum mengirimkan tenaga kerja, pemerintah sebaiknya berkoordinasi dengan perwakilan Indonesia di negara penerima untuk mengetahui kondisi perlindungan yang ada di sana.
"Kita kan punya perwakilan di sana, kita punya duta besar dan sebagainya. Mungkin perlu kita bertanya kepada duta besar-duta besar kita di negara-negara mana saja itu bagaimana perlindungan tenaga kerja kita di negara-negara ini, kita bisa bertanya sama duta besar kita sebelum kita mengirimkan," ujarnya.
Hal ini penting agar pengiriman tenaga kerja Indonesia tidak hanya menguntungkan dari segi ekonomi, tetapi juga aman dan terlindungi hak-haknya.
"Kalau di Jepang kelihatannya sudah relatif baik menurut saya, banyak tenaga kerja sana. Di Korea juga banyak, ya. Jadi yang sudah baik saya pikir nggak masalah, mungkin pemerintah bisa membantu malah agar tenaga kerja kita bisa tersalurkan dengan baik di seluruh negara itu," ujarnya.