Liputan6.com, Jakarta Pengamat ketenagakerjaan, Timboel Siregar, menyarankan agar tawaran untuk mengirim 1,7 juta pekerja migran dari Indonesia ke 100 negara perlu dikroscek lebih lanjut.
Timboel menilai, meskipun peluang ini terdengar menarik, verifikasi data sangat penting, mengingat dampak dari pertarungan geopolitik internasional yang dapat memengaruhi berbagai negara.
"Nah terkait dengan adanya tawaran 1,7 juta pekerja migran dari 100 negara. Ya menurut saya ini datanya harus di cross check lagi ya," kata Timboel kepada Liputan6.com, Rabu (16/4/2025).
Menurutnya, jika tawaran tersebut benar adanya, hal ini akan memberikan kesempatan bagi mereka yang kesulitan mendapatkan pekerjaan di dalam negeri.
"Nah ini yang memang juga harus diklarifikasi untuk itu. Jadi ya kalau memang ada bagus. Nah bagus untuk bagaimana rakyat kita yang memang gagal mendapatkan pekerjaan di negara kita bisa mendapatkan pekerjaan di luar negeri," ujarnya.
Namun, Timboel menegaskan, agar peluang ini tidak menjadi bumerang, maka pemerintah perlu memastikan pekerja migran yang dikirim memiliki keterampilan dan memenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku.
Timboel mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menegaskan bahwa setiap calon pekerja migran harus memiliki keterampilan yang memadai.
"Tentunya ini menjadi tantangan kita ke depan untuk memastikan bahwa pekerja yang kita kirim adalah pekerja yang memiliki keterampilan. Yang memiliki skill dan tentunya prosesnya juga harus yang legal dan pemerintah harus mendorong ke arah sana. Memfasilitasi gitu loh," kata Timboel.
Hak-Hak Pekerja Migran Harus Menjadi Prioritas Pemerintah
Selain itu, Timboel menegaskan, perlindungan hak-hak pekerja migran harus menjadi prioritas utama agar mereka tidak terjebak dalam eksploitasi atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang masih marak, terutama di negara-negara seperti Kamboja dan Laos.
Lebih lanjut, Timboel menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengawasi dan memastikan bahwa jenis pekerjaan yang ditawarkan di luar negeri adalah pekerjaan yang sah dan legal.
"Tidak lagi ada eksploitasi apalagi yang sering kita dengar saat ini di Kamboja, di Laos dan sebagainya itu tindak pidana perdagangan orang. Itu yang memang menurut saya jangan sampai terjadi. Jadi kalaupun 1,7 juta itu dibuka itu harus dipastikan juga oleh pemerintah jenis pekerjaannya apa," ujarnya.
Dia juga mencontohkan, pekerjaan di sektor perkebunan di Malaysia atau pekerjaan rumah tangga di Hong Kong, yang selama ini sudah banyak diminati oleh pekerja migran Indonesia, harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
"Jangan sampai ini malah mengarah pada TPPO gitu. Nah misalnya rekrutmen di daerah perkebunan itu misalnya di Malaysia masih dibutuhkan ya gak apa-apa. Cuman harus legal," tegasnya.
"Demikian juga misalnya untuk domestic workers di Hongkong gitu ya. Jadi jelas bahwa kalaupun ada tawaran 1,7 juta itu benar-benar pekerjaan yang legal gitu. Bukan pekerjaan-pekerjaan yang mengkhawatirkan seperti yang saat ini misalnya jadi operator judi online ataupun yang lain-lainnya," tambahnya.
Lapangan Pekerjaan di Indonesia Masih Terbatas
Adapun dengan kondisi ketenagakerjaan di dalam negeri, Timboel mengungkapkan bahwa jumlah lapangan kerja yang terbuka di Indonesia masih terbatas, mengingat banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan rendahnya jumlah pembukaan lapangan kerja baru yang berorientasi pada investasi padat modal serta teknologi.
"Memang di Indonesia kan lapangan kerja memang relatif sulit ya karena banyak PHK dan pembukaan lapangan kerja juga berorientasi pada investasi padat modal, teknologi yang memang sedikit membuka lapangan kerja gitu ya. Defisit angkatan kerja terus terjadi. Pembukaan lapangan kerja paling 1,8-2,2 juta," ujarnya.
Ia juga mencatat, sekitar 53 hingga 54 persen angkatan kerja Indonesia memiliki pendidikan hanya sampai tingkat SMP, yang membuat mereka kesulitan bersaing di dunia industri yang kini berorientasi pada teknologi dan modal.
"Sementara pertumbuhan angkatan kerja tiap tahun tuh udah 4 juta lebih ya. Sehingga memang sulit mencari pekerjaan ya. Dan kondisi yang ada di Indonesia kan 53-54 persen angkatan kerja kita itu lulusan SMP ke bawah gitu ya," jelasnya.
Menurut Timboel, pemerintah harus terus mendorong pembukaan lapangan kerja, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar dapat memenuhi tuntutan pasar kerja yang semakin mengarah ke industri padat teknologi dan modal.
Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
"Nah tentunya pemerintah harus terus menggenjot membuka lapangan kerja. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 45 Pasal 27, pekerjaan dan penghidupan yang layak. Seluruh warga negara berhak untuk mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak," pungkaasnya.