Allegri dan Milan: Kembali ke Masa Lalu demi Masa Depan

1 day ago 3

Liputan6.com, Jakarta AC Milan membuat kejutan di awal musim panas dengan menunjuk kembali Massimiliano Allegri sebagai pelatih mereka. Keputusan ini menjadi langkah cepat setelah musim yang mengecewakan dan penuh gejolak. Allegri akan menjalani periode keduanya di San Siro dengan beban harapan yang lebih berat dari sebelumnya.

Penunjukan ini tak ubahnya perjudian bernuansa nostalgia. Dalam kurun 12 bulan, Milan telah mengganti empat pelatih, menunjukkan ketidakstabilan yang berbanding terbalik dengan ambisi finansial klub yang selalu mengedepankan kehati-hatian. Kini, Giorgio Furlani dan jajaran manajemen Milan berharap pada sosok lama untuk menghadirkan solusi baru.

Namun, Milan yang kini ditangani Allegri jauh berbeda dari skuad juara Serie A 2010/11. Tanpa bek kelas dunia dan striker senior seperti Zlatan Ibrahimovic di puncak performa, tantangan yang menanti lebih kompleks dari sekadar mengulang masa kejayaan.

Allegri dan Dilema Gaya Bermain

Massimiliano Allegri dikenal sebagai pelatih pragmatis. Dia tidak terikat pada satu filosofi taktik, tapi lebih mengedepankan struktur, keseimbangan, dan efektivitas. Pendekatannya menekankan kedisiplinan, terutama dalam lini belakang dan peran gelandang bertahan sebagai jangkar utama.

Namun, gaya ini berisiko tidak cocok dengan Milan yang sedang dalam proses menjual kreator utama, Tijjani Reijnders, tanpa pengganti sepadan. Sementara itu, Allegri bukanlah pelatih yang terbiasa menciptakan peluang lewat sistem yang kompleks. Ketergantungannya pada kecemerlangan individu bisa menjadi bumerang jika kualitas pemain tak mendukung.

Dengan jadwal yang relatif ringan musim depan tanpa kompetisi Eropa, Allegri kabarnya diberi target untuk mengamankan posisi empat besar. Target ini terkesan rendah untuk klub sebesar Milan dan publik menuntut lebih dari sekadar stabilitas.

Milan: Masalah Lama, Ancaman Baru

Salah satu kekhawatiran terbesar datang dari catatan Allegri terhadap penyerang utama. Di Juventus, Dusan Vlahovic justru mengalami kemunduran signifikan di bawah arahannya. Milan kini dihantui kekhawatiran serupa terhadap Santiago Gimenez, rekrutan mahal yang didatangkan dengan ekspektasi besar.

Jika Allegri tak mampu menyesuaikan gaya bermainnya untuk mengakomodasi striker muda seperti Gimenez, maka potensi serangan Milan akan kembali tumpul. Skema bertahan yang terlalu konservatif bisa meredam agresivitas lini depan dan membuat Rossoneri kehilangan identitas menyerang mereka.

Selain itu, rekam jejak Allegri di Eropa pun tak menjanjikan. Dua musim terakhir bersama Juventus ditandai kegagalan di Liga Champions, termasuk gugur di fase grup dan kekalahan mengejutkan dari Villarreal. Citra sebagai pelatih elite Eropa pun mulai luntur.

Milan: Stabilitas yang Terlambat?

Di tengah segala keraguan, satu hal yang bisa ditawarkan Allegri adalah pengalaman dan kestabilan. Pendahulunya, Sergio Conceicao, gagal menyatu dengan atmosfer Serie A dan tekanan media Italia. Hasilnya tak konsisten, strateginya kaku, dan pendekatannya terasa asing.

Milan di bawah Conceicao tampil membingungkan. Mereka kehilangan arah di Liga Champions dan terpeleset di final Coppa Italia meski sempat mengalahkan lawan yang sama di liga. Dalam konteks tersebut, keputusan Milan untuk bertindak cepat dan menunjuk Allegri terasa logis.

Kehadiran direktur olahraga berpengalaman seperti Igli Tare mendampingi Allegri menambah nuansa perencanaan matang. Dengan waktu cukup untuk evaluasi skuad dan pramusim, Milan seolah ingin membangun masa depan dari fondasi yang lebih kokoh. Meski demikian, manajemen yang baik belum tentu berbuah trofi.

Milan dan Allegri: Reuni atau Pengulangan Kesalahan?

Furlani menyebut ini sebagai bentuk 'reset' strategi, sebuah langkah mundur demi lompatan ke depan. Allegri dipilih atas dasar keamanan dan rekam jejak, bukan karena keberanian bereksperimen. Namun, suporter Milan tentu menginginkan sesuatu yang lebih segar dan progresif.

Scudetto Serie A ke-19 Milan datang dari tangan Stefano Pioli yang berani menyesuaikan pendekatannya dan mengandalkan pemain muda. Sebaliknya, Allegri sukses mempersembahkan gelar ke-18 dengan pendekatan konvensional. Kini, apakah dia masih mampu membaca zaman dan menyesuaikan taktiknya?

Tanpa bek kelas dunia atau gelandang pekerja keras yang mendukung sistem favoritnya, ruang kesalahan Allegri sangat sempit, apalagi dalam lanskap sepak bola modern yang menuntut dinamika tinggi dan kreativitas dalam membangun serangan.

Sumber: Sempre Milan

Read Entire Article
Bisnis | Football |