Liputan6.com, Jakarta - Zane Li masih ingat jelas momen saat adik bayinya lahir. Di usia sembilan tahun, ia menyambut kehadiran saudara barunya bukan hanya dengan sukacita, tapi juga beban berat.
Keluarganya dikenai denda 100.000 Yuan (sekitar USD 13.900) karena melanggar kebijakan satu anak yang kala itu masih ketat diberlakukan di Tiongkok. Denda tersebut hampir tiga kali lipat dari penghasilan tahunan orang tuanya yang bekerja di pasar ikan lokal.
“Kami hampir tidak bisa hidup,” kenang Li dikutip dari CNN, Rabu (6/8/2025).
Sejak itu, ia terpaksa cepat dewasa, mengambil alih banyak pekerjaan rumah, dan membantu ibunya berjualan selama libur sekolah.
Kini, di usia 25 tahun, Li memilih untuk tidak memiliki anak. Pandangan ini ternyata mencerminkan sikap banyak anak muda di Tiongkok saat ini—sebuah fenomena yang membuat pemerintah khawatir akan krisis populasi akibat kebijakannya sendiri di masa lalu.
Dulu Dilarang, Kini Diminta Punya Anak
Selama beberapa dekade, pemerintah Tiongkok secara agresif mendorong pembatasan kelahiran melalui denda besar, aborsi wajib, dan sterilisasi. Namun kini, mereka justru memohon kepada generasi muda untuk memiliki lebih banyak anak.
Baru-baru ini, pemerintah mengumumkan insentif baru berupa tunjangan 3.600 Yuan (USD 500) per tahun bagi orang tua hingga anak mereka berusia tiga tahun. Program ini berlaku surut sejak 1 Januari sebagai bagian dari upaya menahan laju penurunan angka kelahiran.
Namun, bagi banyak generasi muda, kebijakan ini dianggap tidak cukup.
“Biaya membesarkan anak sangat mahal, dan 3.600 Yuan setahun hanyalah setetes air di lautan,” kata Li, yang kini menempuh studi magister di bidang layanan kesehatan di Beijing dengan bantuan pinjaman mahasiswa.
Tantangan Ekonomi dan Tekanan Sosial
Di kota-kota besar seperti Shanghai dan Beijing, biaya membesarkan anak bahkan bisa mencapai hampir 1 juta Yuan. “Dengan punya anak hanya akan menambah beban,” ujar Li.
Ia masih diliputi kecemasan tentang masa depan dan bahkan belum yakin untuk melanjutkan ke jenjang S3.
Fenomena ini menambah tantangan bagi pemerintah yang ingin mendorong pernikahan dan kelahiran di tengah ekonomi yang melambat dan tingginya pengangguran muda.
Tiongkok memang telah mencabut kebijakan satu anak sejak 2016, bahkan mengizinkan tiga anak pada 2021. Namun, angka kelahiran terus menurun. Tahun lalu pun, meskipun sedikit membaik, tren populasi tetap negatif.
Subsidi Baru, Solusi Lama?
Subsidi baru dari pemerintah pusat, sebesar 90 miliar Yuan, menandai upaya nasional yang serius. Program ini dirancang untuk menjangkau hingga 20 juta keluarga. Berbeda dari sebelumnya yang hanya berlaku lokal, kini pemerintah pusat mengambil alih kendali.
“Ini bukan lagi eksperimen lokal. Ini sinyal bahwa pemerintah menganggap krisis kelahiran sebagai isu nasional dan mendesak,” kata Emma Zang, demografer dari Universitas Yale. “Kami tidak hanya menyarankan Anda punya bayi, kami menyediakan uang dan sumber daya.”
Namun, Zang meragukan efektivitasnya. Ia mencontohkan kegagalan serupa di Jepang dan Korea Selatan, di mana insentif finansial tidak mampu mendorong lonjakan kelahiran.
Trauma Masa Lalu dan Realita Masa Kini
Bagi Gao, 27 tahun, subsidi uang tak cukup untuk menghapus luka masa kecilnya. Ia tumbuh di Guizhou, salah satu provinsi termiskin Tiongkok, dan sempat “disembunyikan” oleh orang tuanya demi menghindari denda kebijakan satu anak.
Setelah keluarganya memiliki empat anak perempuan, baru anak laki-laki lahir. Kini, tinggal di Jiangsu, Gao mantap untuk tidak menikah maupun punya anak. “Saya tidak ingin anak saya seperti saya, tanpa peluang naik kelas sosial,” ujarnya.
Meredupnya Optimisme Generasi Baru
Generasi muda Tiongkok dulu percaya bahwa kerja keras dan pendidikan bisa mengubah nasib. Namun realita berkata lain: harga rumah melambung tinggi, pasar kerja makin sempit, dan koneksi keluarga lebih menentukan.
Banyak yang merasa berada dalam "involusi" — lingkaran persaingan yang ketat tanpa hasil berarti. Karena itu, sebagian dari mereka memilih untuk "bermalas-malasan", menolak tekanan sosial termasuk menikah dan punya anak.
Perempuan Menanggung Beban Terbesar
Perempuan muda, seperti June Zhao (29), bahkan lebih pesimis. Meski berasal dari keluarga menengah dan pendidikan tinggi di luar negeri, ia merasa tekanan membesarkan anak terlalu besar.
“Saya punya waktu dua atau tiga jam sehari setelah bekerja. Teman saya yang kerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam, enam hari seminggu, lebih tidak punya waktu lagi,” katanya.
Ia juga menyaksikan langsung perjuangan ibunya yang harus bekerja sambil mengurus rumah dan membimbing pendidikan anak. “Perempuan jauh lebih terbebani dalam membesarkan keluarga,” katanya.
Pemerintah Ingin Bayi, Tapi Sistem Tidak Mendukung
Kampanye pemerintah kini kembali mendorong perempuan untuk menjadi “ibu teladan dan istri baik”, namun kenyataannya generasi perempuan sekarang sudah sangat berbeda.
“Perempuan muda saat ini berpendidikan tinggi, punya orientasi karier, dan ingin kesetaraan,” kata Zang. “Kecuali jika kebijakan mendukung kenyataan ini—misalnya dengan cuti ayah, perlindungan kerja, dan jam kerja fleksibel—angka kelahiran tidak akan naik.”
Zang menyimpulkan, “Pemerintah menginginkan lebih banyak bayi, tetapi masyarakat belum siap mendukung keluarga. Saat ini, membesarkan anak terasa seperti jebakan—terutama bagi perempuan. Sampai sistem berubah, subsidi tidak akan cukup.”