Liputan6.com, Jakarta - Puluhan unggahan media sosial terkait penembakan yang menewaskan aktivis konservatif Charlie Kirk menimbulkan badai kontroversi baru di Amerika Serikat. Unggahan tersebut, termasuk yang dianggap merayakan kematiannya, menjadi sasaran sorotan tokoh konservatif, politisi Partai Republik, hingga situs anonim yang mengklaim misi untuk “menghukum” para pembuat komentar itu.
Dikutip dari CNN, Selasa (16/9/2025), situs bernama Expose Charlie’s Murderers mengaku menerima hampir 30.000 kiriman komentar dari publik. Meski baru sebagian kecil yang dipublikasikan, situs itu berencana mengubah diri menjadi basis data permanen berdasarkan lokasi dan pekerjaan. Klaim ini segera menuai kritik karena dianggap membuka jalan bagi praktik doxing dan pelecehan daring.
Namun, hanya beberapa hari setelah menerima donasi kripto, situs tersebut mendadak ditutup dan berganti nama menjadi Charlie Kirk Data Foundation. Situs barunya tidak lagi menampilkan daftar pengguna media sosial, dan akhirnya juga ditutup kembali. CNN mencatat, identitas pengelola situs sulit dilacak karena didaftarkan melalui layanan privasi internasional.
Fenomena ini memperlihatkan betapa cepat unggahan pribadi di dunia maya bisa dipublikasikan luas, meskipun berasal dari akun kecil. Akibatnya, informasi pribadi orang-orang yang berkomentar soal Kirk ikut tersebar dan menimbulkan risiko serius.
Perusahaan Besar Turut Bereaksi
Gelombang reaksi tak berhenti di media sosial. Sejumlah individu yang unggahannya ditampilkan situs anonim itu mengaku mendapat pelecehan, ancaman, bahkan kehilangan pekerjaan. Misalnya, jurnalis independen asal Kanada Rachel Gilmore, yang justru menuliskan doa agar Kirk selamat, mendapati dirinya dibanjiri ancaman hingga menyebut dua hari terakhir sebagai “neraka hidup.”
Kasus serupa menimpa Rebekah Jones, mantan ilmuwan data Covid-19, yang mengaku dua kali melapor ke polisi setelah mendapat ancaman pembunuhan usai komentarnya tentang Kirk dipublikasikan situs anonim tersebut. Sementara itu, penulis DC Comics, Gretchen Felker-Martin, harus kehilangan kontrak setelah cuitannya dianggap menyindir kematian Kirk.
Tak hanya individu, perusahaan besar pun turut bereaksi. Delta Air Lines, American Airlines, dan United Airlines mengonfirmasi telah menangguhkan sejumlah pegawainya terkait postingan soal Kirk. Restoran cepat saji, tim olahraga Carolina Panthers, hingga institusi pendidikan juga ikut memecat pegawai yang dinilai melanggar etika.
Menurut Jeffrey Hirsch, profesor hukum ketenagakerjaan di University of North Carolina, perusahaan swasta berhak memecat karyawan karena komentar di media sosial, sementara sektor publik lebih rumit karena terkait kebebasan berpendapat. Namun, kasus guru dianggap lebih sensitif mengingat peran mereka dalam mendidik anak-anak.
Kampanye Terkoordinasi
Para akademisi menilai fenomena ini bukan sekadar reaksi spontan, melainkan pola kampanye terkoordinasi. Laura Edelson dari Northeastern University menyebut tujuannya memang untuk mengoordinasikan pelecehan massal terhadap individu tertentu. Senada, Whitney Phillips dari University of Oregon menilai framing yang menyalahkan “kaum kiri” memperluas lingkaran kesalahan jauh melampaui pelaku penembakan.
Phillips menyebut framing tersebut memicu narasi perang budaya yang seolah-olah menempatkan kelompok progresif sebagai “musuh spiritual” konservatif, sekaligus musuh Amerika. Efeknya, tensi politik semakin meninggi dan mendorong publik untuk melakukan aksi balasan, baik di dunia nyata maupun digital.
Fenomena situs anonim ini juga mengingatkan pada Professor Watchlist, daftar kontroversial yang pernah diluncurkan organisasi Turning Point—kelompok yang juga dipelopori Kirk. Daftar tersebut menuding dosen-dosen radikal, meski dalam praktiknya banyak individu di dalamnya justru mendapat pelecehan dan ancaman kekerasan.
Kematian Charlie Kirk kini bukan hanya isu kriminal, tetapi juga membuka bab baru tentang bagaimana percakapan di media sosial bisa mengubah kehidupan banyak orang. Dari sekadar komentar, dampaknya merambah hingga pemecatan, ancaman, dan lahirnya kampanye pelecehan digital yang memperdalam polarisasi politik Amerika Serikat.